Bogor – Sejarah soal khilafah Islamiyah dimulai dengan berdirinya Al-Khulafaur Rasyidin (Pemerintahan pasca nabi) yang ditandai dengan empat khalifah; Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Para khalifah ini menyebut diri mereka adalah Khalifah Rasulullah (penganti Rasulullah) yang sudah meninggal. Satu hal yang menarik dan sangat penting dari sejarah Al-Khulafaur Rasyidun ini, bahwa pemilihan dan pengangkatan mereka menjadi khalifah didasarkan pada kelebihan-kelebihan dan keunggulan-keunggulan pribadi mereka mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Usman Bin Affan dan terakhir Ali Bin Abi Thalib, setelah itu tidak ada lagi,
Pernyataan ini disampaikan oleh KH.Abdullah Nawawi, Pengasuh Ponpes Al-Minhaj Al-Islami Bogor (16/04).
Konsep memperjuangkan khilafah yang diperjuangkan eks Hizbut Tahrir sudah tidak relevan dijadikan role mode saat ini dan banyak hambatan.
“Pertama, hambatan yang paling besar itu tentu saja adalah eksistensi dari nation state (nagara bangsa) yang sudah begitu mapan di negara-negara di dunia Muslim. Apakah mungkin misalnya menyatukan Saudi dengan Iran atau Libya.”ujarnya.
Perbedaannya bukan sekadar perbedaan mazhab yang satu syiah dan satu lagi sunni, tapi juga perbedaan politik dan kepentingan politik masing-masing.
“Saat ini Perpecahan dan konflik di Timur Tengah sangat kental dengan perbedaan dan kepentingan politik.” tandasnya
Kekhilafahan yang diperjuangkan eks Hizbut Tahrir dengan landasan berpikir mereka adalah akalnya sendiri/versi hizbut tahrir, adapun Al-Qur’an dan hadits hanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi keinginan akalnya
“Waspadai pejuangan eks Hizbut Tahrir, karena idiologi tidak akan pernah mati, selama masih ada yang memperjuangkan,” pungkasnya.