Kenapa Menangis Sayang?

by -335 views

Oleh : Bambang Isti Nugroho, Seniman dan Budayawan

Jangan menangis. Dalam berpolitik perasaan tempatnya kurang terhormat. Menghadapi pemimpin yang lalim, kita mesti tegar. Jangan bersedih dan menitikkan air mata.

Tidak ada pemimpin yang sempurna, setiap orang punya kelemahan. Tengoklah Patih Gajah Mada, kalau tidak membantai raja Pajajaran, di alun-alun Madjapahit, yang kemudian dikenal dengan perang bubat. Nyaris Gajah Mada sebagai pemimpin yang sempurna. Seorang kesatri-Brahmana. Menguasai teori perang, banyak strategi perang yang unggul. Segelar sepapan, supit urang dan kendali musuh adalah strategi perang ciptaan Gajah Mada yang terbukti bisa menundukkan musuh Maja Pahit. Menguasai teori perang, punya strategi perang dan ahli mengorganisir pasukan. Jelas arah pembangunannya. Maja Pahit menjadi kerajaan besar di bawah kekuasaan Hayam Wuruk dengan maha Patih Gajah Mada.

Tetapi dengan Perang Bubat, Gajah Mada menjadi tercela namanya. Karena terlalu kejam membantai serombongan pengantin yang datang untuk menggelar pernikahan antara Dyah Pitaloka dengan Hayam Wuruk. Karena kesalahannya itu Gajah Mada mundur dalam pemerintahan. Setelah mundur dari pemerintahan Gajah Mada, hidup menyepi dan kemudian meninggal dunia tanpa diketahui makamnya. Barangkali karena rasa malu yang menggerogoti senopati Maja Pahit yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Ada yang menyaksikan Gajah Mada moksa.

Jasa Gajah Mada sangat besar kalau dibandingkan kesalahannya. Bahkan sampai hari ini namanya terukir dalam hati bangsa Indonesia. Tidak ada kota besar yang tidak punya nama jalan Gajah Mada. Jakarta dan kota-kota besar lain menjadikan namanya sebagai nama jalan.

Jokowi barangkali juga ada kelemahannya. Menjadi pemimpin yang tidak sempurna. Terseret arus KKN. Sebuah tuntutan yang dulu dipancang oleh para aktivis politik melawan Suharto dengan Orde Barunya.

Ingin meneruskan pembangunan yang sudah dijalankannya Jokowi bermaksud melanjutkan pembangunan yang sudah dilakukannya itu. IKN, kereta cepat dan hilirisasi tidak ingin terputus. Jokowi tidak ingin ada keterputusan sebagai mana pembangunan yang sudah dilakukan zaman Orde Baru tidak dilanjutkan oleh pemerintah setelahnya. Keterputusan dari sesuatu yang sudah dilakukan pemimpin harus dilanjutkan.

Tidak ada cara lain harus dilanjutkan oleh Presiden setelahnya. Didorong ambisinya itu Jokowi menjadi pelaku KKN. Digerakkan kerabat dan sekutunya untuk melanjutkannya. Mencederai demokrasi, menjadi pelaku KKN dilakukannya demi ambisi yang telah dipancangkannya. Sekutu dan keluarganya diseret ke gelanggang politik. Demi pembangunan yang berkelanjutan. Hujatan dan perlawanan ia terima dan tidak dihiraukan. Sahabat-sahabatnya yang dulu membantu dari bawah meninggalkannya. Tapi tidak kalah banyak yang tetap membantunya bahkan membenarkannya.

Politik adalah momentum. Mumpung mometumnya tepat Jokowi memasang dua anaknya yang dulu pedagang martabak dan pisang menjadi cawapres dan pemimpin partai. Di saat posisinya kuat Jokowi menggunakan hukum formal mengabaikan etika. Melanggar etika tapi tidak melanggar hukum formal. Sah saja. Setiap penguasa selalu bersandar pada hukum formal. Setelah menang baru menyusun argumen dan sejarah.

Suharto yang membunuh ribuan orang tak bersalah karena tidak tahu politik PKI saja dipuja-puja. Bahkan yang memuja itu adalah penguasa moral. Penguasa yang lalim selalu punya argumen atas kelakuannya. Jokowi memukul lawannya yang sedang lemah. Pejabat pemerintah ada dalam genggamannya. Kaum Oligarki ada di belakangnya.

Politik seperti judi. Kalau tidak curang tidak menang. Yang penting curang yang tidak kelihatan dan curang yang tidak bisa dibuktikan.

Oposisi sedang lemah, bokek. Jokowi merasa kuat, banyak sumber dana dan kuasa. Tidak terlalu sulit untuk mengalahkan lawan. Kedoknya selalu bahwa semua tergantung rakyat. Kita tidak bisa memaksa dan menakut-nakuti rakyat yang kelak memilihnya.

Waktu yang tidak lama ini akan dimanfaatkan oleh Jokowi dan sekutunya untuk memenangkan jagonya. Lawannya pasti bernafas pendek. Dananya cekak, perlawanannya setengah hati. Ora wani nggetih. (tidak total involvement).

Jokowi dan sekutunya tahu, siapa yang menguasai dana itu yang bakal memenangkan pesta demokrasi.

Rakyat sedang susah dihimpit kebutuhan hidup sehari-hari. Cari uang setengah mati sulitnya. Sebagai besar rakyat tidak memikirkan politik nasional. Apalagi politik kita sekarang tengik.

Tidak cukup sedih, kecewa dan menangis. Musti disiapkan barisan rakyat untuk melawannya. Disediakan dana untuk mewujudkannya dan musti menempa semangat sampai hari pencoblosan.

Menghayati politik tidak boleh cengeng. Apalagi sistem politik demokrasi. Di mana kita boleh apa saja, kecuali merokok di pom bensin dan sholat di masjid pakai sepatu.

Dulu kamu memuja-muja Jokowi. Menuduh yang di luar yang mengkritiknya nyinyir dan tidak tahu diri. Bertahun tahun kamu puja Jokowi. Apakah kamu tidak punya sedikit kecurigaan bahwa Jokowi akan melanggengkan kekuasaan dengan segala cara. Dan sekarang kamu melihat dan merasakan Jokowi menggunakan segala cara untuk terus berkuasa.

Tangismu tidak cukup sayang. Ayo susun barisan perlawanan. KALAHKAN JOKOWI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *