Terkungkung Demokrasi Materialistis

by -3,430 views

Oleh: Abdul Ghopur

Sejak Indonesia didirikan 78 tahun silam, kata ‘demokrasi’ nyatanya mulai akrab di telinga bangsa ini. Dan, sebagai bangsa yang lahir dari nilai-nilai perjuangan, kita pun mengamini serta mengisyafi demokrasi sebagai sistim nilai bangsa ini. Di era modern, demokrasi sebagai tata nilai dianggap sebagai sebuah sistim paling mendekati sempurna dibanding sistim lainnya yang pernah ada, dan, bahkan masih ada di sebagian kecil bangsa atau negara di dunia (Indonesia sendiri pernah memiliki sistim kerajaan/monarki sebelum kemerdekaan). Dengan populasi penduduk ± 270 juta jiwa, Indonesia bahkan diakui dan dicatat dunia sebagai negara paling demokratis di dunia.

Istilah demokrasi sesungguhnya bermacam-macam. Ada istilah demokrasi konstitusionil, demokrasi parlementer, demokrasi kerakyatan, demokrasi proletar, demokrasi Soviet, demokrasi Pancasila bahkan demokrasi terpimpin dan sebagainya. Seluruh konsep ini memakai istilah demokrasi, yang artinya: “Rakyat Kuasa” atau “Government or ruled by the people.” Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) “kekuasaan rakyat” (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik), yang tersusun dari dua suku kata: δῆμος (dêmos) yaitu “rakyat” dan κράτος (kratos/kratein) (Henry George Liddell, Robert Scott, A Greek-English Lexicon) yaitu “kekuatan” atau “kekuasaan” pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena.

Kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) “kekuasaan elit” (J Henderson, Comic Hero versus Political Elite, 1993). Secara teoritis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, tetapi kenyataannya sudah tidak jelas lagi (N.G Wilson, Encyclopedia of ancient Greece, 2006). Sistem politik Athena Klasik misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan yang menganut demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Di Perancis abad pertengahan dan Latin pertengahan lama, kata demokrasi sudah dikenal, sebagai pembeda antara suatu pemerintahan demokratis dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang seperti monarki atau sekelompok kecil orang seperti oligarki.

Perbedaan-perbedaan filosofi yang berasal dari Yunani, apapun itu, sekarang tampak ambigu. Karena pemerintahan kontemporer mencampur-adukkan elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Raimund Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) demokrasi adalah bentuk atau sistim pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantara wakilnya (pemerintahan rakyat). Dengan kata lain, demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Singkatnya, demokrasi adalah sistem pengorganisasian masyarakat negara yang dilakukan oleh masyarakat sendiri atau dengan persetujuan masyarakat, di mana keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (YME) diakui, ditata, dan dijamin atas dasar gagasan kenegaraan tertentu. Secara umum demokrasi mengandung beberapa aspek, yaitu aspek formal, material, normatif, organisasi, optatif, dan aspek jiwa (H. Amirmachmud, Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia, 1986).

Indonesia sendiri menerapkan sistim demokrasi Pancasila yang prinsipnya menjaga keutuhan bangsa, menciptakan keadilan dan memberikan kesejahteraan pada rakyat, menjaga kebersamaan dalam kebhinnekaan, memperhatikan prinsip permusyawaratan dan kemufakatan yang mencerminkan keragaman bangsa serta tidak semata-mata berdasarkan mekanisme pemilihan one man one vote, serta menjamin pengembangan nilai-nilai luhur bangsa dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, demokrasi kita adalah demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai luhur yang terkandung dan tercermin dari sikap dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Namun sayangnya demokrasi yang dibangun ulang pasca peristiwa Reformasi Mei 1998 sebagai otokritik dan antitesa rezim orde baru (Orba), belum sepenuhnya membawa kemanfaatan bagi rakyat Indonesia kebanyakaan, bahkan sangat mengecewakan. Bagaimana tidak, demokrasi dipahami sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas dan rambu-rambu.

Padahal, peristiwa Reformasi Mei 1998 sesungguhnya merupakan momentum yang sangat berharga bagi perubahan besar sistem dan tata nilai serta tatanan politik dan demokrasi Indonesia, setelah selama 32 tahun mengalami pembungkaman oleh Orba. Pertanyaannya kemudian, mengapa justru setelah dikobarkannya Reformasi Mei 1998 prinsip political merit system malah cenderung ditinggalkan perlahan? Demokrasi hanya menyejahterakan sebagian kecil kalangan dan malah menyuburkan sistim oligarki serta politik uang yang pada ujungnya hanya melahirkan pemimpin yang seolah-olah demokratis padahal tiran.

Tak pelak, semua itu merupakan pengejawantahan dari sistim demokrasi yang semata-mata menekankan aspek prosedural yang tidak berorientasi pada nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Lebih jauh lagi pengembangan dan pembangunan demokrasi Indonesia yang sedang berjalan sekarang tidak sesuai dengan kultur dan natur bangsa. Meski masih mengusung tema demokrasi Pancasila, namun realitasnya demokrasi kita justru mempraktikkan demokrasi liberal, sangat liberal, yang menjauhi semangat meritokrasi. Padahal sejatinya demokrasi Pancasila mendasarkan dirinya pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persamaan hak, keadilan sosial, keadaban, persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Sebagaimana kita pahami, kata ‘perwakilan’ adalah pendelegasian orang-orang terbaik (meriter) dalam mewakili hak anggota-anggota masyarakat yang dipimpinnya.

Pertanyaannya kemudian, akankah kita mendekati bahkan mencapai era konsolidasi demokrasi pada Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah (Pilpres, Pileg dan Pilkada) 2024 ini? Ataukah demokrasi kita menjadi misteri seperti pertanyaan beberapa ahli politik yang bertanya, “the mistery of democracy: why democracy triumphs in the west and fails everywhere else?” Tidak mudah menjawabnya. Terlebih demokrasi dan sistim Pemilu kita sedang mempraktikkan kaidah “le compte des incomptes” yaitu, meletakkan rakyat sebagai subyek yang penting saat tertentu tetapi bukan paling penting saat yang lain. Dalam teori politik rakyat yang menjadi subjek utama dalam Pemilu, justru makin terhempas ke pinggir sehingga tidak lagi ikut memiliki-menikmati demokrasi dan hasil-hasil Pemilu. Sebab, ia dibutuhkan saat politisi membutuhkan. Saat politisi tidak membutuhkan, ia ditinggalkan. Hal ini karena politisi kita menjelma bagai Jaelangkung: datang tak diundang, pergi tak pamit. Politisi jadi-jadian. Fenomena koalisi pilpres 2019 menjadi buktinya.

Dengan model politisi Jaelangkung alias politisi jadi-jadian, kualitas demokrasi kita juga masih datang tak menyempurnakan, pergi tak disesali. Sungguh, ini sebuah kualitas yang dibangun berdasarkan obsesi kepentingan sesaat dan dilakukan dengan lobi-lobi tingkat tinggi serta dibahasakan dengan bahasa “aneh” melebihi kemampuan daya baca rakyat. Saat bersamaan mereka juga takut akan ide-ide segar (idephobia) dan takut akan banyaknya ragam kultur dalam membangun politik. Tentu, ini menjadi ironi tersendiri bagi kita yang terbiasa hidup dengan ragam budaya dan pluralnya pikiran. Ditambah kita gagal menciptakan aktor demokrasi yang asketis dan menyimpang. Sebuah kekayaan yang seharusnya disyukuri-dilestarikan dan bukan ditakuti.

Lantas, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Gelombang besar reformasi politik seakan baru menghasilkan “mediokrasi” berpolitik dan “political broker” bengis. Yang terjadi hanyalah satu tindakan pemujaan terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan pikiran hasil dari pengembaraan batin yang mendalam. David Hill (1987) menulis bahwa ketika suatu negara lebih berambisi pada menata politik maka nalar harus sadar bahwa “politik” akan selalu menemukan logikanya sendiri. Politik sebagai panglima akan menyeret secara deras membentuk pusaran sentrifugal dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang terkadang menenggelamkan cita-cita welfare society. Tidak bisa dipungkiri, aroma politik dan demokrasi sangat “menggairahkan” seseorang untuk menikmati sensualitasnya; ketenaran, publisitas dan kekuasaan. Tetapi pada saat yang bersamaan, aroma sensualitas itu akan menyeretnya secara dalam pada persiapan terhadap serangan musuh-musuhnya. Di sinilah logika politik untuk politik berlaku. Politik hanya sekadar hitam dan putih saja. Gagasan politik untuk keadilan, ekonomi, kesejahteraan, ketertiban serta kestabilan musnah demikian mudah. Yang tersisa adalah bagaimana kekuasaan dan publisitas dipertahankan dengan segala cara dengan menafikkan cita-cita lainnya. Dus, politik tanpa kewarasan seringkali seperti ayah yang memakan anak kandungnya sendiri.

Karena itu, ketika gagasan penguatan politik lewat masyarakat sipil sedang mematerialisasi di tengah rakyat, jutaan warga menanti ragu, adakah masuk kotaknya para pemimpin sipil sebagai pejabat publik membawa berkah atau kutuk? Keraguan ini seakan menjadi gugatan serius karena sejak dua puluh lima tahun setelah geger reformasi mengudara, kelamnya hari-hari masih menyelimuti negeri. Hukum tetap lumpuh, kriminalitas mengganas, korupsi merajalela, pejabat perkaya diri untuk berpesta, gerakan memerdekakan dan memisahkan diri menguat, partai-partai bersatu untuk bercerai, konflik antar civil society mengemuka kembali dan aparatus civil society “habis.” Di seberang lain, rakyat kecil terkena busung lapar, gantung diri putus asa dan miskin tersapu bencana alam; mereka sekedar keluar dari mulut buaya untuk masuk ke mulut harimau.

Di dalam situasi krisis kebangsaan di pelbagai lini kehidupan seperti ini, yang bakal terjadi pasti rakyat mulai kehilangan kepercayaannya terhadap pengelola negara (distrust civil society). Situasi ini pada gilirannya melahirkan masyarakat yang tribalis. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka masyarakat akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus-nya masing-masing sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah-tangga kebangsaan Indonesia. Kondisi ini dipicu oleh ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola negara bangsa. Pada gilirannya ketidakpercayaan masyarakat mengkristal dalam bentuk masyarakat yang apolitis, dalam konteks Pemilu mereka akan menjelma menjadi golongan putih alias golput.

Yang tidak memilih alias golput, mempercayakan saja apa pun hasil Pemilu, mereka percaya kehidupan berbangsa dan bernegara akan berjalan sebagaimana biasa (biasa miskin maksudnya), karena Pemilu tidak dimaksudkan untuk mengubah total sistem atau dasar negara (hal yang terakhir ini, dalam demokrasi, hanya bisa dilakukan melalui satu-satunya pintu, referendum). Di negara yang sistem demokrasinya belum ajeg atau yang demokrasinya bohong-bohongan, penguasa (incumbent), dengan segala cara mendorong rakyatnya untuk menggunakan hak pilih (sudah tentu untuk memilih diri atau partainya). Premisnya, ikut memilih berarti ikut menentukan nasib dan masa depan bangsa. Yang tidak ikut memilih dikategorikan sebagai tidak bertanggung jawab. Rezim penguasa tidak suka ‘golput’ karena dinilai (dan senyatanya) sebagai bentuk perlawanan tidak langsung terhadap sistem. Di negara macam ini, tidak heran suara pemilih bisa dan biasa 100% (akibat rekayasa kebablasan). Orba pun menggunakan cara-cara ini. Faktanya, enam kali pemilu di era Orba yang diikuti lebih 90% suara pemilih, telah mengantar negara ke bibir jurang kehancuran, nyaris ambruk!

Sejatinya, negara modern dan pemerintahan yang demokratis adalah suatu sistem pemerintahan-kenegaraan yang dapat menjamin (melindungi segenap tumpah darah) dan memastikan hak-hak masyarakat secara demokratis di pelbagai lini kehidupan. Sehingga, negara dan pemerintahan yang demokratis adalah yang mampu menjamin dan memastikan sektor-sektor kehidupan masyarakat (civil society) berjalan secara adil dan demokratis.

Sayang sungguh disayang, kita diwarisi pemimpin negara bangsa paska kolonial yang “pendendam” dan mengidap sindrom mediokrasi, Yaitu tindakan pemujaan (berlebihan) terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan akal budi (common sense) hasil dari pergulatan pikiran dan pengembaraan batin yang mendalam. Umumnya, bangsa yang pernah dijajah (dalam waktu lama) akan mengidap dua penyakit akut sekaligus. Yaitu, para pemimpin negara-nya akan mengidap penyakit mitos state dan materialism state. Ciri utama Mitos state ada empat yakni, pertama, pembudayaan tradisi skripturalisme (dalam pengertian negatif), maksudnya yaitu para pemimpin lebih suka mengedapankan catatan atau laporan anak buah (yang bermental asal bapak senang/ABS/yes man) ketimbang akal sehat. Meletakkan intelektualitas pada skrip yang tak valid, lebih percaya teks ketimbang konteks, lebih mempercayai antek daripada intelek.

Dus, hidup dalam fase skripturalisme pada akhirnya menyerahkan akal pada laporan, menitipkan dan mempercayakan masa depan pada masa lalu. Kedua, tradisi eskatologis, artinya, ketika negara mendapat bahaya dan bencana, para aparatus negara hanya dapat menjelaskan bahwa itu semua berasal dari Tuhan. Lewat nyanyian, doa dan fatwa, para ulama dan artis diajak ikut mengampanyekan “Tuhan mulai bosan” bersahabat dengan kita, tanpa pernah ditemukan siapa penanggungjawab yang harus mengatasi bahaya dan bencana tersebut. Ketiga, Sikap melankolis, artinya, aparatus negara lebih suka kampanye dan bicara tanpa banyak bekerja. Seakan-akan dengan mengiklankan diri di media, seluruh persoalan negara sudah teratasi. Keempat, sikap romantis, artinya, jika ada tuntutan untuk segera menyelesaikan problem-problem negara, para aparatus negara meminta waktu yang panjang dan tak berkesudahan sambil melempar tanggungjawab serta mengatakan bahwa “kesalahan itu” bukan hanya darinya, melainkan juga merupakan warisan rezim masa lalu. Timbullah adagium lempar batu sembunyi tangan.

Sedangkan karakter materialism state, yakni para pemimpin negara lebih suka bermewah-mewahan dan bergelimang harta (materi), namun, di saat yang sama rakyat hidup serba kekurangan dan sangat menderita lahir-batin. Karakter dasar dari negara material adalah “meminta rakyat banyak berkorban” yang diimbangi dengan gaya hidup “high class” para aparatus negara. Kenaikan gaji legislatif dan eksekutif yang sangat mencolok disertai “banyaknya orang mati mengantre bantuan langsung pemerintah” adalah buktinya. Pada fase negara material ini yang dikembangkan baru gagasan individualisme, unitarian, simbolik dan profanitas. Yang sakral, kerumunan dan abstrak memang telah berkurang dan diganti dengan hal-hal baru yang lebih efisien-subtansial. Problemnya, fase negara material ini tidak dibarengi dengan pembangunan karakter dan etos kerja. Padahal pembangunan karakter (character building) adalah prasyarat bagi pembangunan negara secara menyeluruh (nation-state building). Itu artinya, tanpa karakter yang kuat niscaya etos kerja dan martabat negara tidak akan hadir di keseharian kita. Ketika etos kerja melemah maka sinetron kita hanya diisi dengan cerita-cerita tentang cinta, perselingkuhan bahkan setan. Sinetron kita hanya diisi dengan episode “lawakan” serta ucapan Tuhan yang diulang-ulang dan ritual ibadah yang berlebihan.

Syahdan, meskipun pemerintahan dipilih secara demokratis, tetapi bila ia menabrak konstitusi, melanggar hak individu dan minoritas (ekonomi under level), tidak mematuhi hukum serta tidak memberikan peningkatan pemenuhan hak dasar masyarakat dan pemerataan kesempatan dan kapasitas ekonomi rakyat, maka pemerintahan itu tidak layak disebut pemerintahan demokratis. Sebaliknya, hanya layak mendapat julukan sebagai pemerintahan seolah-olah demokratis (pseudo-demokratis), bahkan Olle Tornquist (1999) menyebutnya “demokrasi kaum penjahat rakyat.” Sebab, setelah proses pemilu (liberal) yang katanya ”ter-demokratis” dilewati, para politisi, saudagar, dan belitan utanglah problem lanjutannya yang masyarakat terima. Politisi saudagar, mempertajam model politik perdagangan yang menakar kemenangan berdasarkan hukum untung-rugi semata, tanpa peduli pada nasib rakyatnya. Politisi saudagar menguatkan negara kapling yang diwarisi oleh rezim-rezim otoritarianisme. Inilah politisi yang gagal memahami pesan dasar para pendiri negaranya dan gagal menyejahterakan rakyat banyak, karena gagal memahami politik utang. Padahal, politik utang di luar politik yang lain adalah sumber malapetaka negara-negara paska kolonial.

Memahami politik utang, sebagai upaya bagi pemecahan problem negara-bangsa paska kolonial, menjadi tugas maha penting. Karena akibat globalisasi ekonomi, akan terjadi the death of democracy. Demokrasi sebagai konsep sederhana yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, akan berubah haluan menjadi dari rakyat, oleh elit, untuk “para investor kapitalis.” Apa buktinya? Para pemimpin negara-bangsa post-kolonial saat ini, demikian memang dipilih oleh rakyat, tetapi mereka ternyata lebih sibuk untuk “melayani” kapitalis global yang tidak memilihnya. Sebab, para pemimpin negara-bangsa post-kolonial, walau masih memperhitungkan para pemilih dalam negeri (domestic constituent), tetapi justru demi untuk mengelabui para konstituen inilah para pemimpin akan melakukan apa saja, asal para kapitalis yang telah mengglobal itu mau datang menanamkan (invetasi) modal di negaranya.

Dengan puspa ragam upaya, para pemimpin negara-bangsa paska kolonial mengundang, merayu untuk mendatangkan investor kapitalis agar menanamkan saham dan uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para pemimpin negara-bangsa post-kolonial bersaing dengan sengit karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (borderless economics), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global. Pemerintahan nasional menjadi limbo (bingung) memproyeksikan kebijakan pembangunan nasional karena minus evaluasi menyeluruh terhadap landscape pembangunan sumberdaya bangsa di pelbagai lini. Karena tidak memiliki lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pembangunan nasional juga belum terlihat menghasilkan kualitas hidup manusia yang kompetitif. Pada akhirnya, negara menjadi “daerah omong kosong,” pemimpin negara-bangsa post-kolonial menjadi “budak kapitalisme,” pemerintahan nasional menjadi “mitra manis,” dan rakyat menjadi tumbal para pemilik modal yang mengglobal, para kapitalis yang mendunia, cukong yang menguasai jagat raya! Pada gilirannya negara hanya akan menjadi apa yang dikatan Karl Heinrich Marx (1818-1883) dalam artikelnya yang berjudul “On the State Question” kerumunan ular buas yang memangsa pawangnya sendiri. mengerikan!

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
dan Founder Indonesia Young Leader Forum
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Abdul Ghopur. 2018. Ironi Demokrasi, Menyibak Tabir Dan Menggali Makna Tersembunyi Demokrasi. Jakarta. LKSB.
Prof. Miriam Budiardjo. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Henry George Liddell & Robert Scott. A Greek-English Lexicon. at Perseus.
S. Halliwell, J. Henderson, B. Zimmerman. 1993. Tragedy, Comedy and the Polis. Comic Hero versus Political Elite. Bari. Levante Editori.
N.G Wilson. 2006. Encyclopedia of ancient Greece. New York. Routledge.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat. 2011. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
H. Amirmachmud. 1986. Pembangunan Politik Dalam Negeri Indonesia. Jakarta. PT Gramedia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *