Pemimpin Sejati, Kaya Literasi

by -2,814 views

Oleh: Abdul Ghopur

Pemimpin dan kepempinan merupakan dua kata yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Bagaikan keping logam uang dengan dua sudut pandang yang berbeda namun tetap merupakan satu kesatuan yang utuh. Sebab, dalam diri pemimpin terdapat sikap kepimimpinan. Sedangkan definisi pemimpin dan kepemimpinan memiliki banyak makna yang berbeda-beda tergantung pada sudut pandang dan perspektif masing-masing orang.

Namun, secara umum kepemimpinan didefinisikan sebagai sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti keperibadian (personality/inner beauty), keikhlasan (cincerity), kejujuran (faith), kesetiaan (loyality), kemampuan (capacity), kesanggupan (ability), ketahanan (defense), integritas (integrity), dan lain-lain, untuk mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan dan kepatuhan agar ikut serta dalam mencapai dan mewujudkan cita-cita bersama yang diinginkan.

Seorang pemimpin tidak melulu dilihat dari faktor genetika (asal-usul) keturunan saja, tetapi faktor lainnya seperti pendidikan dan pelatihan juga merupakan pendukung utama tingkat kualitas seorang pemimpin, terutama bakat. Jika kita ingin memengaruhi orang lain berarti kita akan terlibat ke dalam kegiatan kepemimpinan, sebab kepemimpinan adalah proses memengaruhi orang lain.

Kepemimpinan seseorang sangat bergantung pada model kepemimpinannya masing-masing. Model kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang kita gunakan bilamana kita mencoba memengaruhi tingkah laku orang lain. Denga kata lain, apabila persepsi kita terhadap pola tingkah laku kepemimpinan kita baik dan bermanfaat, belum berarti apa-apa apabila persepsi orang lain terhadap kepemimpinan kita kurang baik. Dengan kata lain, seorang pemimpin itu muncul sesuai kehendak zaman (keadaan) dan dipersepsikan serta harus dikenal (recognized).

Indonesia sesungguhnya memiliki segudang pemimpin yang berintegritas (intellectual standing). Di samping faktor atau variabel sebagaimana saya sebutkan di atas, kekayaan bahan bacaan (literasi) sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan adalah yang melekat pula pada seorang pemimpin. Generasi para founding fathers merupakan para pemimpin yang kaya akan literasi. Soekarno telah membaca bayak literasi dan ribuan buku. Begitu pula Bung Hatta dan para pemimpin nasional lainnya kala itu. Pertanyaannya, apakah para pemimpin kita mulai dari tingkat paling bawah sampai presiden sudah memperkaya diri dan kepemimpinannya dengan segudang literasi? Ini bukan soal kecakapan di lapangan, melainkan soal kekayaan literasi, wacana dan khazanah ilmu pengetahuan. Bukan sekedar kerja, kerja dan kerja.

Sampai hari ini, Indonesia adalah negeri tanpa nasib (fateless nation). Karena itu, walau zaman sudah berganti rupa tetapi perubahan mendasar tak kunjung kita temukan. Kepemimpinan nasional tak jua diisi oleh manusia-manusia yang memiliki sifat kerakyatan, berwatak “tak lazim” (crank) dan asketis-profetik. Sebaliknya, para pemimpin di negeri ini terlalu takut untuk bertindak secara revolusioner demi penyelamatan bangsa dan rakyatnya. Terlalu sulit menemukan pemimpin yang tindakannya menyempal dari keumuman, berani, tegas, pantang menyerah, dan wibawa. Kita tak memiliki pemimpin yang mencintai ketaklaziman: intelektual, spiritual dan kaum miskin. Dengan bahasa lain, (kalua mau jujur) kita sedang mengalami krisis kepemimpinan nasional. Padahal, krisis kepemimpinan nasional akan melahirkan penyakit-penyakit turunan lainnya; perekonomian nasional tak kunjung membaik, kemiskinan, pengangguran dan kekerasan (separatis dan teroris) makin merajalela adalah dampaknya.

Pasca reformasi Mei ‘98 memang terjadi perubahan peta politik (political landscape) yang begitu pesat dan berwarna. Kita menyaksikan suatu peningkatan pasrtisipasi demokrasi politik (setidaknya) yang belum pernah dicapai dan dicatat sebelum ini. Meskipun masih bersifat parsial dan karikatif. Parsial artinya secara partisipan politik mengalami penumbuhan “kesadaran politik” (dalam tanda kutip) di pelbagai lini masyarakat terutama kalangan bawah. Tetapi di sisi lain justru terjadi kemerosotan makna hakiki politik dan demokrasi terutama demokrasi ekonomi. Padahal demokrasi politik sangatlah tidak cukup tanpa demokrasi di bidang ekonomi (kesamaan kesempatan dan kapasitas). Sebagaimana dikatakan Bung Hatta, “demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).

Karikatif artinya, meskipun partisipasi politik meningkat (tingkat partisipan), ditunjukkan dengan bermunculan banyak partai dan animo masyarakat berduyun-duyun ke kotak pencoblosan dalam pemilihan umum misalnya, tapi secara esensi kesadaran politik, pemahaman politik serta pemaknaannya belum menyentuh pada inti dasar (nucleus) politik itu sama sekali, sifatnya masih simbolis (karikatif). Yang terjadi hanyalah arketif-arketif politik atau demokrasi yang artifisial. Bahkan di sebagian realitasnya politik dan demokrasi Indonesia modern hanyalah diisi oleh ornamen-ornamen bahkan ontran-ontran politik dan demokrasi.

Pertanyaan mendasarnya, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Rasa terasing. Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Tetapi faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari negara, terasing dari lingkungannya, terasing dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti. Sebab, pemerintah hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya.

Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tidak layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita Proklamasi. Gelombang besar reformasi politik seakan baru menghasilkan “kedangkalan” (mediocracy) berpolitik dan “political broker” bengis. Yang terjadi hanyalah satu tindakan pemujaan terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan pikiran hasil dari pengembaraan batin yang mendalam dan kekayaan literasi.

Reformasi Mei ’98 seakan hanya menghantarkan kita pada pembangunan fisik yang maha megah tapi tidak dibarengi dengan pembangunan manusia seutuhnya terutama pendidikan, utamnya lagi pendidikan politik dan demokrasi. Kita menyaksikan betapa agung dan megahnya pembangunan di era dua periode Joko Widodo. Meskipun kita tidak menyangkal bahwa prasyarat negara maju adalah pembangunan. Tetapi itu bukan satu-satunya tolak ukur.
Pembangunan dan ekonomi memang sangat penting, namun tentunya pembangunan ekonomi itu haruslah memusatkan dan mendasarari perhatiannya pada ekonomi kerakyatan, bukan pembangunan ekonomi yang bertumbuh hanya di kalangan elit (oligarki ekonomi). Harus adan pemerataan kesempatan dan kapasitas ekonomi pada seluruh masyarakat Indonesia. Ini karena kita berhadapan dengan suatu kemelut ekonomi yang belum ada kepastian penyelesaiannya. Seusai Covid 19 kita masih menghadapi suasana global yang belum menentu. Tapi saya tidak mewakili pandangan yang pesimis dalam politik atau ekonomi. Oleh karena saya tidak mengambil pendekatan yang pesimis dalam politik. Jadi, begitu juga ekonomi. Tetapi bukan ekonomi seperti apa yang disebut oleh Kane, persoalan ekonomi yang hanya diserahkan kepada para pakar ekonomi atau expert (economic expert), yang tidak menjawab sebuah permasalahan.

Jika itu yang terjadi, pilihannya cuma satu, para elit pemimpin negara akan mengundang, merayu untuk mendatangkan investor kapitalis agar menanamkan saham dan uangnya di negara yang ia pimpin. Tentu saja para elit pemimpin negara bersaing dengan sengit karena para investor kapitalis hanya akan memilih negara yang memberikan dan menyediakan syarat-syarat yang paling menguntungkan bagi bisnis mereka. Kemudian, dalam lingkungan ekonomi yang tanpa batas ini (borderless economy), pemerintahan nasional tidak lebih dari sekedar the transmission belts bagi investor kapitalis, atau sebagai institusi perantara yang menyisip di antara kekuatan lokal dan regional yang sedang tumbuh, serta terhimpit di antara mekanisme pengaturan global.

Kenapa pilihan di atas justru yang diambil, bukan pilihan kemandirian ekonomi nasional? Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan ekonomi nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Jawabnya, Karena para pemimpin kita sekarang ini minus literasi. Ironis![]

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Founder Indonesia Young Leaders Forum;
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Dari berbagai serpihan sumber.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *