Dewan Eksekutif Setara Institute, Hendardi menyoroti revisi UU TNI yang tengah dibahas saat ini kental dengan upaya memperluas peran militer di ranah sipil. Menurutnya, TNI mestinya memfokuskan diri untuk pertahanan negara.
“Agenda TNI itu sebetulnya seharusnya semakin mendorong TNI untuk konsisten dan memfokuskan diri pada penguatan bidang pertahanan negara, terutama untuk menghadapi ancaman dari luar. Seperti misalnya, yang paling aktual misalnya wabah pandemi, atau konflik Rusia-Ukraina. Nah kondisi semacam ini seharusnya membuat TNI mengutamakan orientasi keluar.” tegas Hendardi.
Ia menyayangkan jika revisi UU TNI yang direncanakan justru berupaya masuk ke dalam dalam paradigma negara. Termasuk rencana penambahan kodam. Baginya ini bukanlah urgensi yang harus segera dilaksanakan.
“Jika melakukan perluasan kodam, memang mau perang kepada siapa? Ini terlihat minimnya visi dan design modernisasi global.” ujarnya.
Dalam situasi damai yang semakin berkembang, maka kata Hendardi, mestinya metode penguatan lebih baik dengan cara modern bukan dengan cara konvensional.
“Semakin efektif kalau penempatan kodam di perbatasan untuk kedaulatan negara. Cobalah melihat melalui perspektif politik masa kini. Pelaksanaan revisi saat ini tentu kurang tepat, dimana masa efektif DPR berkurang karena persiapan menuju pemilu dan memastikan keterlibatan publik akan sulit ditengah kontestasi politik.” bebernya.
Ia juga menyoroti kepentingan revisi UU TNI ini. Apakah benar untuk kepentingan rakyat dan bangsa?
“(Revisi) ini tidak bisa dibahas dimana polarisasi politik saat ini sedang menajam dan terbelah. Lingkungan sosial politik saat ini sangat tidak tepat. Karenan untuk (revisi) itu, butuh pemikiran jernih dan visioner.” tandasnya.
Hendardi juga melihat revisi UU TNI ini ada potensi tawar menawar politik antara TNI, Kementrian Pertahanan dan Presiden Jokowi. Menurutnya, TNI meminta revisi yang berbahaya karena dibarter oleh dukungan politik saat pilpres. Walau TNI tidak akan memilih, tapi ada keluarganya.
“TNI adalah kekuatan politik tersendiri. Maka sebaiknya revisi ini ditunda sampai Pemilu 2024 selesai. Mengingat ancaman pertahanan dari luar yang semakin berkembang, maka sebagai Presiden hendaknya mendorong kapasitas prajurit dan kelembagaan dari alutsista, latihan militer gabungan, update teknologi dan kesejahteraan prajurit. Bukan memperluas peran di daerah-daerah.” pungkasnya.