Oleh : Dany Chaniago
Logistik yang tersendat, minimnya bantuan asing, dan stagnannya perekrutan kader (korban) baru, Hizbut Tahrir Indonesia mencoba berbagai upaya melancarkan aksi makarnya dengan mengkapitalisasi agama secara culas dan tanpa malu. Diantara strategi menarik pundi rupiahnya; dikerahkan Buzzer asal Kalimantan Barat, Pay Jarot Sujarwo yang terang-terangan menjual tiket event “Metamorfoshow” (17/2) di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur.
Setiap peserta dikenakan biaya registasi mulai Rp50.000,-, Rp100.000, Rp125.000,-, Rp175.000,- Rp250.000,- sampai Rp350.000,-, terbagi menjadi 3 kelas, yaitu Tribun, Reguler, dan VIP. Pertunjukan yang ditampilkan antara lain Storytelling, Historytelling, Puisi, hingga musik, bertujuan menggiring generasi penerus Ibu Pertiwi meninggalkan Indonesia sebagai negara yang harus dibela dan dipertahankan kedaulatannya, menggunakan 3 pola terstruktur:
Poin pertama, prolognya selalu menampilkan kebaikan-kebaikan era Khilafah, mengabaikan aspek pertarungan kekuasaan maupun konflik berdarah-darahnya. Diglorifikasi pula bagaimana ‘Islam’ mampu menghegemoni 2/3 dunia, mempersatukan umat, namun melupakan sisi obyektifitas melihat sejarah ketika patron teologis digiring ke arah politis, menimbulkan gesekan horizontal, dimana Kaum Muslim justru menjadi minoritas di Wilayah dimana dulunya diduduki oleh Para Sultan, seperti Andalusia.
Belum lagi bukti Umat Islam kala itu tidak benar-benar berada disatu tampuk kepemimpinan semata, peristiwa munculnya Khilâfah Bani Umayyah di Spanyol semakin beragam dan bercabang-cabang. Hasan Ibrâhîm Hasan (Târîkh al-Islâm 3:71) membagi negara khilafah tekategori mandiri dan otonom (al-duwal al-mustaqillah), bahwa selain negara Umawiyyah di Andalus yang memimpin pada 138- 397 H/756–1031 M—ialah negara al-Adârisah di Maroko pada 172-311 H/788-932 M, negara al-Aghâlibah di Tunisia pada 184-269 H/800-908 M, serta negara al-Thûlûniyyîn (254-292 H/868-905 M) dan negara al-Fâthimiyyîn (358-567/H/969-1171 M).
Bosworth (The Islamic Dynasties : 15) mengutip Zambaur, mengemukakan terdapat beberapa Dinasti Islam (Mulûk al-Thawâif). Fenomena ini menarik, karena selain wilayah kekuasaannya kecil, juga masa kekuasaanya tidak lama, sebagaimana Hammûdids di Malaga dan Algeciras (400-449 H/1010-1057 M), ‘Abbâdids di Sevilla (414-484 H/1023-1091 M), Zirids di Granada (403-483 H/1012-1090 M), Banû Yahyâ di Niebla (414-443 H/= 1023-1051 M), Banu Muzyn di Silves, Algarve (419-449 H/1028-1053 M), Banu Razîn di Albarracin, La Sahla (402-500 H/1011-1107 M), Banû Qâsim di Alpuente (420-485 H/1029-1092 M), Jahwarids di Cordova (422-461 H/1031-1069 M), Afthasids atau Banû Maslama di Badajos (413-487 H/1022-1094 M), Dhûn Nûnids di Toledo (sebelum 419-478 H/sebelum 1028-1085 M), ‘Âmirids di Valencia (412-489 H/1021-1096 M), Banu Shumâdih di Almeria (430-480 H/1039-1087 M), Tujibids dan Hûdids di Saragossa, Lerida, Tudela, Calatayud, Denia, Tortosa (410-536 H/1019-1142 M), dan Banû Mujâhid dan Banû Ghâniya di Majorca (413-601 H/1022-1205).
Kembali ke penjelasan poin kedua, HTI memanfaatkan momentum kisruh yang terjadi di Indonesia, terlebih pro-kontra Pemilu 2024, mempermudah mereka melakukan pengalihan perhatian, khususnya bagi generasi muda yang baru saja ingin mengenal agama melalui propaganda ‘One Ummah’. Kemudian Tokoh Elit menggerakkan mesin politiknya memanfaatkan kelengahan Pemerintah dan Masyarakat yang terlarut dalam Kontestasi Pesta Demokrasi lima tahunan. Jika ditelisik lagi, berapa keuntungan yang diperoleh?
Berdasarkan akumulasi rasio harga tengah (Rp200.000,-), Ismail Yusanto berikut pasukannya berhasil meraup omzet Rp240.000.000,- (Dua Ratus Empat Puluh Juta Rupiah) dalam sekali hajatan Anti Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Sangat cukup untuk membantu ketahanan logistik HTI yang mulai agak rapuh pasca dibubarkan tahun 2017 silam. Narasi yang dimainkan pun memakai kata-kata surga, tersesat, taat, dan taubat.
“Nggak kangen apa pulang ke kampung halaman bernama surga. Dah deh, balik kanan dari jalan hidup tersesat, menuju jalan hidup taat dan taubat,” (Pay: 2024)
Postingan yang diunggah Pay Jarot Sujarwo pada (5/2), mengarahkan generasi penerus bangsa dilingkupi perasaan amat berdosa andaikata tidak membeli tiket masuk “Metamorfoshow”. Sebuah trik jitu namun digunakan untuk menjual atribut agama tertentu. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mau dibawa kemana 1.200 Peserta Gen Z tersebut? Uraian di bawah ini sekaligus menjawab poin ketiga terkait pendalilan.
Hemat penulis, terkait persoalan ini HTI mengandalkan teknik marketing, termasuk after selling. Sebab Para Syabab (pengikutnya) memang didikte secara sadar menjadi Sales Khilafah Tahririyah. Alhasil ribuan anak muda berbagai latar belakang yang hadir langsung diprospek selain berpotensi jadi pengikut militan, juga donatur tetap, budak cekokan ideologi asing mengatasnamakan Islam, Syariah, Dakwah Rasul, yang nyatanya hanya menjadi pengikut buta. Untuk memudahkan pemetaan, maka bisa dipisahkan dalam 3 cluster berikut penerimaan doktrin, tugas, dan jumlah infaq.
Dalam Halaqoh Umum, Tersortir melalui berbagai platform yang dimiliki (BWA, KLI, KHAT, Yuk Ngaji, dll). Tahap awal ini, penetrasi ideologi tahririsme tak begitu menonjol, umumnya mengikuti selera rekrutan baru dan membahas tema-tema umum (remaja, percintaan, motivasi). Setiap minggu diminta menyetor ayat Al-Qur’an dan Hadist sepotong-sepotong mengikut frame yang sudah dibangun gerakannya tanpa sepengetahuan member halaqoh (hakikat maksud dan tujuannya).
Tugas mereka mencari rekan agar bisa duduk halaqoh (pengajian terselubung) bersama-sama, termasuk pergi ke setiap acara yang digelar Kaum Elitnya. Pelan-pelan jika sudah ketergantungan, cluster otomatis meningkat ke level 2.
Untuk infaq, umumnya Ro10.000 – ratusan ribu. Kadang memaksa, kadang tidak, tergantung kebutuhan organisasi terlarangnya.
Sedangkan Halaqoh Intensif, tersortir ketika sudah dianggap lulus secara idari (administrasi versi HT) dan berpotensi jadi kader militan, posisi ini baru dimulai doktrinasi pengharaman demokrasi, pengkafiran negara, dan penyesatan masyarakat yang tidak ikut kelompoknya, tak memperjuangkan khilafah versi HT, matinya jahiliyah (memunculkan sikap eksklusif).
Tugas mereka melanjutkan kontak (atas nama dakwah), melakukan perekrutan sebanyak-banyaknya, bahkan sudah bisa menjadi Ustadz bagi peserta Halaqoh Umum meskipun tak menguasai disiplin keilmuan keagamaan, tapi diberi kurikulum panduan, biasanya buku MDI (Materi Dasar Islam) karangan Arief B. Iskandar.
Disebabkan cluster ini belum terlalu mapan, biaya bulanan relatif antara Rp10.000 – ratusan ribu. Kadang memaksa, kadang tidak, tergantung kebutuhan organisasi terlarangnya.
Lebih lanjut, Qosam/Bai’at, Tersortir menjadi ideolog paling keras yang mendeklarasi diri pengemban dakwah Islam kaffah, setelah menamatkan Kitab-kitab Politis Nizhamul Islam, At-Takatul Hizbi, dan Mafahim Hizbut Tahrir.
Tugas anggota resmi jauh lebih berat daripada dua cluster diatas, sebab akan dilihat potensi kader apakah layak ditempatkan spesialis menggarap segmen anak muda, pengusaha, akademisi, ASN, TNI-Polri, Ulama, Tokoh Masyarakat dan seterusnya.
Untuk infaq, tidak ada bilangan resmi, umumnya Rp100.000 – jutaan rupiah per bulan. Para anggota dikerahkan agar mampu membiayai operasional pergerakan dengan segenap kemampuan finansialnya
Lebih lanjut ketika pembagian cluster sudah dilakukan, maka Peserta tingkat SMA ataupun Mahasiswa yang berstatus Halaqoh Umum, diarahkan kembali ke Mahaliyah/ Pengurus HTI yang rata-rata mendapat upah pembinaan sekitar Rp2.000.000,- per bulan, untuk tingkat Kecamatan sesuai daerah domisili, atau lingkungan sekitar tempat mereka merantau dalam rangka studi. Misalnya kader asal Kota Pontianak yang kebetulan sedang menjalani program ikatan dinas di Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Pondok Aren, Tangerang, otomatis akan ditangani oleh mentor setempat, bahkan mampu difasilitasi tempat tinggal jika memang dibutuhkan.
Melalui proses berjenjang ini, merujuk pengalaman Penulis, di akhir perkuliahan, setiap kader yang berhasil ‘dijebak’ akan menghadapi dua pilihan: keluar dari barisan (dianggap futur dan setengah kafir), atau menetap selamanya menjadi Agen Radikalis.
Penulis merupakan Eks Syabab HTI Provinsi Kalimantan Barat, bergabung tahun 2008 dan keluar tahun 2013. Pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Gema Pembebasan Borneo Barat tahun 2009 – 2011. Saat ini Penulis aktif sebagai Tenaga Pengajar di IAIN Pontianak dan berkhidmat di Nadhatul Ulama melalui Banom GP Ansor.