Gerakan Politik Provokatif Guru Besar & Akademisi, Bergerak atau Digerakkan?

by -3,438 views

Jakarta – Mahasiswa melawan aksi sejumlah Profesor dan Guru Besar dari sejumlah kampus, yang membuat gerakan politik yang sangat provokatif di injury time pelaksanaan Pemilu 2024. Karena itu, para Profesor dan Guru Besar yang terlibat dalam gerakan politik provokatif itu harus dievaluasi.

Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik ‘Ramai Ribut-Ribut Civitas Akademika, Tergerak Atau Digerakkan?’ di Kopi JJ, Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur, Jumat (09/2/2024).

Para mahasiswa yang berasal dari puluhan kampus di Jakarta sebagai peserta diskusi itu, menyebut bahwa mahasiswa bukan hewan yang begitu saja harus dipaksa nurut kepada ucapan para Profesor dan Guru Besar yang mendadak keblinger itu.

Hadir sebagai Pembicara dalam diskusi itu adalah Aktivis dan Praktisi Media, Jon Jhon Roy P Siregar, Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indraprasta (Menlu BEM Unindra) 2021/2022 Karim Tjendra, dan Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Jaya Baya (Presma Jaya Baya) Farid Sudrajat.

“Mahasiswa bukan hewan yang wajib nurut saja apa kata mereka. Dan para Profesor maupun Guru Besar yang mendadak keblinger melakukan pernyataan-pernyataan provokatif jelang Pemilu 2024 ini, harus dievaluasi. Bukan hanya mereka yang seolah harus didengarkan dan dituruti. Mereka justru harus dievaluasi keprofesoran dan kegurubesaran mereka,” tutur Mantan Presiden Mahasiswa Universitas Jaya Baya (Presma Jaya Baya) Farid Sudrajat.

Farid Sudrajat mengatakan, saat ini, secara umum tidak ditemukan di masyarakat tentang adanya persoalan krusial pada proses demokrasi dan juga mengenai ancaman-ancaman menakutkan pada Pemilu 2024 ini.

Anehnya, lanjutnya, kok tiba-tiba saja bagai di-orkestrai atau dikomandoi oleh kepentingan paslon tertentu itu. Para professor dan Guru Besar itu bagai kebakaran jenggot dan membuat ulah yang mengatasnamakan kampus dan Profesor untuk menumbangkan Pemerintahan yang sah.

“Kami melihat, sebagai mahasiswa yang masih waras, bahwa aksi-aksi yang dilakukan sejumlah orang yang mengatasnamakan Profesor dan Guru Besar itu adalah susupan isu dan kepentingan paslon tertentu. Karena itu, kita mahasiswa wajib melakukan evaluasi terhadap gerakan yang dilakukan Profesor dan Guru Besar yang keblinger itu,” lanjut Farid Sudrajat.

Di tempat yang sama, Menteri Luar Negeri Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indraprasta (Menlu BEM Unindra) 2021/2022, Karim Tjendra, menyebut, selain ada kepentingan paslon tertentu, aksi para Profesor dan Guru Besar itu diduga juga disusupi oleh kepentingan asing.

“Sebab, kita mengetahui bahwa dalam setiap proses Pemilu di Indonesia, kepentingan asing tak luput ikut cawe-cawe dan menunggangi sejumlah elemen,” katanya.

Dengan demikian, kata Karim Tjendra melanjutkan, dunia kampus sudah tidak independen dalam politik praktis dan pragmatis sebagai lembaga pendidikan, dikarenakan ulah segelitir Profesor dan Guru Besar itu.

Sedangkan terkait adanya sejumlah aksi unjuk rasa dari kelompok mahasiswa yang memblejeti pemerintahan yang sah, dengan menyuarakan pemakzulan terhadap Presiden, menurutnya, adalah aksi-aksi orderan atau bayaran dari kepentingan paslon tertentu.

“Kami menduga, itu adalah aksi orderan. Dan itu menunjukkan idealisme mahasiswa tergadaikan oleh sejumlah mahasiswa yang mendesak dilakukannya pemakzulan itu. Kita ini mahasiswa, bukan orang bodoh yang enggak bisa menilai mana aksi mahasiswa orderan dan mana yang murni,” jelasnya.

Lagi pula, lanjut Karim Tjendra, dalam setiap aksi unjuk rasa mahasiswa yang murni, tidak mudah. Selain harus melakukan kajian mendalam terhadap persoalan-persoalan yang hendak didemonstrasikan di lapangan, perlu upaya konsolidasi dan juga persiapan aksi yang matang.

“Lah, mahasiswa yang kemarin menyuarakan pemakzulan Presiden itu kan ngaco. Kami ini juga pernah aksi-aksi unjuk rasa kok. Persiapan dan pendalamannya tidak mudah. Enggak ujug-ujug ada aksi unjuk rasa dan menyerukan pemakzulan begitu. Dalam satu hari dua hari langsung ada aksi begitu. Itu mah mobilisasi mahasiswa untuk kepentingan provokator politik jelang Pemilu,” tuturnya.

“Jika diperiksa rekening sejumlah penggerak unjuk rasa itu, saya kira pasti ditemukan aliran logistik dari orang-orang di belakang layar, yang menunggangi aksi itu,” lanjut Karim Tjendra menambahkan.

Sedangkan, Aktivis dan Praktisi Media, Jon Jhon Roy P Siregar, menyampaikan, dalam pendekatan Ilmu Komunikasi, ada yang disebut Rumus 5W + 1H. Dengan mengacu pada rumus itu, akan ditemukan siapa-siapa saja dan modus apa saja di balik aksi-aksi Profesor dan Guru Besar maupun aksi mahasiswa yang mendorong pemakzulan Presiden itu.

Selain itu, Jon Jhon Roy P Siregar juga mengingatkan, adanya agenda setting media dan juga trik framing dalam pengembangan wacana atau isu tertentu.

“Jika tujuannya adalah untuk melakukan framing terhadap isu tertentu, tentu itu sudah kurang obyektif. Menurut saya, apa yang dilakukan para Profesor dan Guru Besar serta mahasiswa dalam aksi unjuk rasa pemakzulan Presiden itu adalah framing negative, yang sengaja di-setting untuk kepentingan tertentu,” tutur Jon Jhon Roy P Siregar.

Menurut Siregar, seruan-seruan yang dilakukan sejumlah Professor dan Guru Besar itu, terkesan sangat tidak obyektif. Dan hanya dipergunakan untuk mencoba melawan Presiden.

“Saya kira, apa yang dilakukan Presiden Jokowi mengenai kampanye tidak ada yang menyalahi konstitusi. Sebab, memang ada aturan memperbolehkan itu. Dan, kemarin, Presiden Jokowi sudah menegaskan bahwa ada aturan Presiden boleh berkampanye, namun dirinya sebagai Presiden tidak akan ikut kampanye,” tutur Jon Jhon Roy P Siregar.

Sedangkan terkait adanya dugaan meloloskan Gibran sebagai Calon Wakil Presiden yang oleh sejumlah Profesor dan Guru Besar itu telah menciderai demokrasi, Siregar menyampaikan, bahwa itu menjadi tanggung jawab Profesor dan Guru Besar juga.

“Kalau secara aturan, saya kira enggak ada salahnya Gibran di situ. Sebab, ada permohonan secara sah pengajuan ke Mahkamah Konstitusi, dan dikabulkan MK. Lagi pula, semua aturan itu kan juga melibatkan pakar, Profesor dan atau Guru Besar. Sebelum jadi aturan atau Undang-Undang misalnya, ada naskah akademik yang dibuat dan melibatkan kampus-kampus. Lah, mengapa sekarang kok pada uring-uringan enggak jelas begitu Profesor dan Guru Besar?” jelas Jon Jhon Roy P Siregar.

Karena itulah, lanjutnya, sebagian masyarakat menjadi semakin kurang percaya akan integritas dan keindependenan Profesor dan Guru Besar yang membuat seruan-seruan di injury time pelaksanaan Pemilu 2024 itu.

“Masyarakat juga jadi menilai miring kepada para Profesor dan Guru Besar seperti itu. Udah enggak murni. Semuanya mereka jadinya dianggap hanya sebatas provokator politik jelang Pemilu ini,” tuturnya.

“Coba deh ditanya kepada masyarakat semuanya, apakah ada ancaman demokrasi dalam Pemilu ini? Apakah ada persoalan krusial konstitusional jelang Pemilu ini? Saya kira masyarakat akan menjawab tidak ada. Semua baik-baik saja,” tambahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *