Abad 21, Indonesia dan Pemimpinnya

by -668,425 views

Oleh: Abdul Ghopur

Sebagai suatu bangsa, Indonesia merupakan bangsa yang terus berupaya mengada ada men-jadi. Indonesia adalah “konsepsi kultural” tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan.

Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hukum, dengan operasi atas prinsip kekariban, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Sayangnya, meski zaman sudah berganti rupa, perubahan watak dasar bangsa ini tak kunjung berubah. Yang berubah hanyalah tampilan luarnya. Meminjam tesis Mochtar Lubis (1977) yang menyatakan enam (6) tipologi atau karakteristik orang Indonesia yaitu, hipokrit atau munafik, enggan dan segan bertanggungjawab, berwatak feodal, percaya takhayul, artistik, berkarakter lemah, adalah tanda (simpton) perjuangan menjadi Indonesia seutuhnya masih sangat panjang.

Apa yang dinyatakan Mochtar Lubis rasanya tak terlalu berlebihan. Lihat saja faktanya, meski usia kemerdekaan Indonesia sudah menapaki hampir 77 tahun, bangsa ini masih terjerembab pada persoalan mediokrasi.

Yaitu tindakan pemujaan terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan akal budi (common sense) hasil dari pergulatan pikiran dan pengembaraan batin yang mendalam.

Apa buktinya, sinetron kita hanya diisi dengan cerita-cerita tentang cinta, perselingkuhan bahkan setan. Sinetron kita hanya diisi dengan episode “lawakan” serta ucapan “Tuhan” yang diulang-ulang, ritual ibadah yang berlebihan serta kehidupan mewah (glamour) dan hedonis, di samping sebaran berita-berita hoaks di pelbagai media massa.

Itu belum ditambah perilaku para elit politik yang koruptif-manipulatif.
Jika kita mengamati perilaku para elit politik dewasa ini, banyak dari mereka yang ingin bertransformasi diri dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (instan).

Artinya, mentransformasi diri dari keadaan saat ini ke keadaan atau pencapaian yang lebih tinggi lagi. Katakanlah dari hidup yang ”biasa” atau ”miskin” menjadi ”luar biasa” atau ”kaya raya” (dalam tanda kutif). Harapan akan transformasi diri peribadi atau kelompok yang tak diimbangi etos kerja keras inilah yang menanamkan sikap pragmatisme dan mental koruptif dalam benak elit politik di negeri ini, dibarengi gaya hidup hedonis.

Banyak dari mereka memiliki kecenderungan untuk mengambil jalan pintas (shortcut), terlalu taktis-pragmatis. Mereka tidak memiliki pandangan jauh ke depan, dengan kata lain tidak visioner-peradigmatif.

Belakangan, kita disuguhkan hangatnya berita beberapa ketua umum partai politik (parpol) yang sekaligus menjabat menteri Kabinet Indonesia Maju, sibuk berkoalisi dalam rangka pemilihan umum (Pemilu) 2024. Ujung dari koalisi parpol tentulah kekuasaan.

Meski mereka mengklaim fokus koalisi parpol ini membawa politik gagasan. Pertanyaannya, politik gagasan seperti apa dan bagaimana? Konsepsi nilai-nilai ilmiah dan ideologis apa yang akan diusung? Pertanyaan-pertanyaan ini penting.

Sebab, kekuasaan sesungguhnya bukan sekadar menjadi orang nomor satu di republik ini, juga bukan semata menjadi partai pemenang Pemilu. Melainkan sebaliknya, kekuasaan dapat memainkan peranan amat penting dan menjadi bagian dari pelopor serta penggerak perubahan sosial dalam masyarakat, bangsa dan negara. Kalau hanya melanjutkan pembangunan era pemerintahan sebelumnya, rasanya tidak ada yang sepesial.

Saya terkadang bingung, bagaimana para ketua umum parpol itu dapat menjalankan tugas kepartaian di satu sisi, dan melaksanakan tugas kenegaraan sebagai menteri di sisi lain? Muncul dalam benak banyak orang, apakah mereka bisa maksimal menjalankan dua tugas penting tersebut sekaligus? Bagaimana mereka meletakkan loyalitas dan kecintaan terhadap keduanya? Belum lagi kalau ditanya soal keberpihakan mereka terhadap rakyat kecil?

Sebab, setelah gegar reformasi 1998, kepemimpinan nasional tak jua diisi oleh manusia – manusia yang memiliki sifat kerakyatan, berwatak “menyempal” (crank) serta asketis-profetik.

Sebaliknya, para pemimpin di negeri ini terlalu sibuk mengurusi dirinya sendiri dan takut untuk bertindak secara revolusioner demi penyelamatan bangsa dan rakyatnya.

Terlalu sulit menemukan pemimpin yang tindakannya “menyempal” dari keumuman, berani, tegas, pantang menyerah, dan wibawa. Kita belum benar-benar memiliki pemimpin yang mencintai ketaklaziman, intelektual, spiritual dan kaum miskin. Dengan bahasa lain, kita sedang mengalami krisis kepemimpinan nasional.

Padahal, krisis kepemimpinan nasional akan melahirkan penyakit-penyakit turunan lainnya seperti perekonomian nasional tak kunjung membaik, kemiskinan, kebodohan, pengangguran dan kekerasan (separatis dan teroris) yang makin merajalela yang berujung pada krisis politik sebagai dampaknya.

Pertanyaan besar yang muncul kemudian, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Rasa terasing dan tersingkir. Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan.

Tetapi faktanya, banyak laporan di pelbagai lini massa bahwa orang-orang mulai terasing dari negara, terasing dari lingkungannya, terasing dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti.

Sebab, pemerintah hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya. Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi belum layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita Proklamasi.

Gelombang besar reformasi politik seakan baru menghasilkan tatanan politik baru. Seakan-akan hanya berganti tatanan politik saja, dari rezim Orde Lama (ORLA) ke Orde Baru (ORBA) lalu ke Orde Reformasi.

Belum dibarengi dengan perubahan tatanan ekonomi kerakyatan. Sentral-sentral kekuasaan dan penguasaan ekonomi masih berpusat pada segelintir kelompok elit ekonomi. Singkatnya, terjadi persenyawaan antar elit politik dan elit ekonomi yang ujungnya melahirkan oligarki ekonomi-politik.
Perihal oligarki ekonomi-politik ini jauh-jauh telah disinggung oleh Bung Karno.

Beliau mengatakan, bahwa di samping kemerdekaan politik, di situ ada kemerdekaan ekonomi. Di samping persamaan di bidang politik, harus ada persamaan di bidang ekonomi. Lebih jauh lagi Bung Karno mengatakan, apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan?

Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Kita mendirikan suatu negara semua buat semua.

Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi, semua buat semua.

Mohammad Hatta (1932) pernah mengatakan, untuk memimpin negara kepulauan yang luas wilayahnya seperti Indonesia, maka diperlukan pemimpin yang berjiwa besar, bukan bermental kerdil.

Bukan pemimpin yang hanya memikirkan diri dan golongannya saja. Oleh karenanya, sikap mengedepankan kepentingan umum ketimbang kepentingan peribadi maupun golongan, menolong kaum papa yang tak berdaya menjadi agenda penting ke depan.

Menyikapi perbedaan sebagai rahmat, bukan sebagai musuh yang harus disingkirkan. Membangun rasionalitas berpolitik yang mengedepankan etika moral dan akal sehat.

Menjauhkan diri dari sikap tamak harta dan benda yang menghalalkan segala cara. Berpolitik luhur untuk membangun peradaban bangsa yang mulia. Tanpa harus menghancurkan sesamanya.

Dengan rasionalitas, etika, dan moralitas, politik akan terlihat lebih seperti seni, tidak kejam dan busuk yang selama ini terlihat.

Kasantunan, kedewasaan, dan keluhuran budi dalam berpolitik merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban sebuah bangsa. Tanpa itu semua, nihil rasanya kalau peradaban yang agung akan tercipta.

Karena politik tanpa rasionalitas moral dan ilmu pengetahuan akan menjadi sangat jahat. Sebaliknya, moral saja tanpa diimbangi kesadaran politik (kerakyatan dan kebangsaan) hanya akan menjadi tatan kehidupan yang sia-sia.

Kesadaran politik dan moral inilah yang dulu dimiliki dan dijunjung tinggi oleh para pendiri bangsa (founding father) kita.

Padahal, ketika kata “Indonesia” mulai ter-eja, kita pernah memiliki putra-putri terbaik bangsa, yang rata-rata berusia muda. Generasi para perintis dan pendiri bangsa yang memiliki pikiran jernih, cemerlang-gemilang juga hati dan sanubari yang murni bersih.

Meskipun mereka berasal dari daerah dan suku yang berbeda serta memiliki karakter khas masing-masing, namun, tak membatasi semangat mereka untuk bersatu menjadi satu bangsa, Indonesia yang merdeka.

Mereka telah membuktikan kepada kita bahkan dunia dengan torehan-torehan tinta emas kemerdekaan bangsa dan negerinya. Pancasila, Preambule dan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan karya monumental mereka sebagai putra-putri terbaik bangsa yang pernah Indonesia miliki di awal abad 20.

Namun, melihat realitas Indonesia yang ada kini, sungguh jauh panggang dari api. Gagasan dan visi besar yang diusung para founding father dengan sendi moral, ide dan gagasan bersih pada akhirnya harus tunduk pada takdir yang tidak bisa dielakkan.

Ia menemukan ekspresinya dengan menjelma menjadi rutinitas dan tanpa (realisasi) harapan. Ia menerima kenyataan-kenyataan riil yang menyeretnya secara kuat untuk tenggelam.

Pesonanya memudar, kharismanya melarut dan daya revolusinya mati muda. Akibatnya, sambil menunggu drama politik dan “peruntungan” antara rakyat dan penguasa, penambahan umur kita menyela untuk menandai semakin rentanya republik ini. Renta bagai zombi, tanpa gambaran bernas masa depan, hanya sedikit cercah harapan.

Hanya bisa berharap pada pemimpin yang berwatak “menyempal” ―asketis-profetik yang akan sanggup menjalankan visi besar tersebut. Hanya pada pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja pada kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat. Bukan brutus apalagi avonturir politik.

Karena itu, tugas kita sekarang adalah menyiapkan serta mencetak para calon pemimpin bangsa berwatak “meyempal” ―asketis-profetik untuk menyelamatkan Indonesia di abad 21, abad milenial ini. Inilah kewajiban kita bersama agar Indonesia tidak tenggelam oleh amuk kejahatannya sendiri!

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Kedai Ide Pancasila,
Menulis banyak buku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *