JARI 98 Tegaskan Prabowo-Gibran Bukan Ijtima Ulama, Tapi Ijtihad Ulama!

by -1,162 views

Jakarta – Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (JARI) 98 menegaskan pasangan Prabowo-Gibran adalah Ijtihad Ulama. Bukan ijtima ulama.

“Secara bahasa, arti dari Ijitihad adalah mengusahakan dengan bersungguh-sungguh, baik itu tenaga dan pikiran. Prabowo-Gibran Ijitihad Ulama berarti berjuang sepenuhnya dengan seluruh daya upaya memenangkan Prabowo-Gibran,” terang Ketua Presidium JARI’98, Willy Prakarsa dari Makkah, Arab Saudi melalui pesan yang diterima redaksi, Selasa (30/1/2024).

Sedangkan istilah Ijtima’ Ulama yang di masa Pilpres saat ini dipopulerkan oleh sekelompok ‘ulama politik’ sangat ambigu.

“Kumpulan ulama inklusif itu sudah terwadahi dalam MUI. Nah, yang memunculkan istilah Ijtima Ulama itu adalah kumpulan ‘ulama politik’ yang eksklusif untuk mendukung atau menentang satu kandidat politik dalam suatu ajang kontestasi,” beber Willy Prakarsa.

“Prinsip ijtima’ ulama yang diinisiasi oleh para “ulama politik” ini tampak ambigu, sebab disatu sisi mereka ingin berperan sebagai “muftinuun” (pemberi fatwa) yang mendapatkan legitimasi, namun disisi lain, mereka seolah-olah tidak lagi mempercayai ulama-ulama lainnya yang secara legitimated fatwanya diakui oleh negara”.

Kedudukan suatu perkumpulan (ijtima’) ulama semacam ini tentu saja menyulitkan bagi mereka sendiri, terlebih tampak lebih kental mempromosikan suatu faksi politik dibanding faksi keagamaan yang cenderung netral.

“Maka, sangat masuk akal jika kelompok ini kemudian lebih memilih istilah ijtima’ yang dalam banyak hal tampak terkesan anti mainatream. Terlebih jika dihadapkan pada suatu kondisi dimana para ulama sudah terwakili secara absah dalam MUI, dan para ulama yang secara metodologis tersebar dalam beberapa ormas Islam yang telah diakui secara sah,” tegas Willy.

Selanjutnya Willy juga mengatakan, sulit untuk tidak menyebutkan, bahwa konsep ijtima’ ulama yang sejauh ini muncul dalam satu kurun pergantian kekuasaan, akan lebih memberikan gambaran politis daripada agamis.

“Para ulama harusnya mereka yang memiliki keluasan hati dan tidak pernah memaksakan suatu keputusan kepada semua pihak, apalagi yang bercampur dengan urusan-urusan politik,” pungkas Willy.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *