Politik Luar Negeri Amerika Serikat

by -836,359 views

Oleh: Abdul Ghopur

Artikel ini merupakan skripsi penulis yang terbit tahun 2005 dengan judul: “Kebijakan Amerika Serikat Pada Masa Pemerintahan George Herbert Walker Bush Terhadap Konflik RRC-Taiwan,” yang sengaja saya tulis ulang sebagai sebuah refleksi kebijakan, sikap dan langkah politik luar negeri Amerika Serikat (AS) yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional AS sendiri.

Sebagai salah-satu pemenang Perang Dunia II (kedua)/(World War II) dan Perang Dingin (Cold War), AS selalu melakukan dan memerankan model politik standar ganda, terutama dalam kebijakan politik luar negeri AS. Kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat (AS) merupakan politik luar negeri yang pada umumnya memainkan peranan nilai-nilai demokrasi liberal sebagai tujuan untuk mempromosikan instrumen-instrumen liberal dan perusahaan-perusahaan swasta di luar negeri. Hal tersebut telah diproyeksikan AS berulang kali terhadap negara-negara di mana di dalamnya terdapat kepentingan nasional AS sendiri. Apabila tidak ada ancaman besar terhadap kepentingan pertahanan dan ekonominya, maka para pembuat kebijakan AS sering melakukan program-program untuk mendorong perkembangan institusi-institusi politik demokrasi dan tidak mendukung praktek-praktek politik yang otoriter.

Dalam rangka promosi nilai-nilai liberal ke luar negeri AS, seperti yang telah ditetapkan Theodore Wright, para diplomat dan agen-agen propaganda AS dewasa ini mencoba mempertahankan dan memperkenalkan pemilihan-pemilihan yang bebas dan kebebasan negara (Holsti, Politik Internasional, I967). Apabila rezim otoriter berkuasa maka tanggapan AS adalah membekukan pengakuan diplomatik dan mengakhiri bantuan luar negeri, kecuali kalau pemerintah yang berkuasa mau menjadi sekutunya dan berjanji melaksanakan dengan cara yang bebas dan demokrasi di negaranya.

Kebijakan luar negeri AS disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan nasional negaranya. Sikap politik yang aspiratif, mendua dan ambivalen sering mewarnai kebijakan luar negeri AS misalnya terhadap konflik Korea Utara-Korea Selatan, Cina-Taiwan, Irak-Kuwait, dan konflik Rusia-Ukraina baru-baru ini. Terhadap konflik Cina atau Republik Rakyat Tiongkok (RRT) (dulu disebut Republik Rakyat Cina, disingkat RRC, dibaca Cina) khususnya yang berkaitan dengan masalah Taiwan, selama ini AS selalu menjaga dan membangun hubungan “senyap” (sino)-AS atau AS-Tiongkok ke arah lebih baik. Sementara Taiwan tetap mempertahankan prinsip dan kekuasaannya sebagai negara yang memiliki kedudukan dan berdaulat sekian lama. Pada dasarnya AS juga mendukung dan tetap memberikan perlindungan bagi Taiwan yang sudah sekitar tujuh (5) dekade (pada waktu itu) menjadi sekutunya.

AS berupaya melakukan diplomasi dan perjanjian damai dengan Cina berkaitan dengan masalah Taiwan tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sebagai suatu keharusan, memandang bahwa Cina adalah sebuah negara yang sudah memiliki kekuatan global yang tidak lagi tergantung pada Uni Soviet dalam menjalin hubungannya dengan AS. AS memandang Cina sebagai ancaman bagi kekuatan dan kekuasaannya, baik di bidang ekonomi, perdagangan atau pun dengan adanya manuver politik internasional dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan Cina terhadap negara-negara dunia ke tiga dan Timur-Tengah.

Hubungan AS dengan Cina tidak pernah begitu baik atau sesuai yang diharapkan, meski pun AS mengubah kebijakan luar negerinya, dengan mengakui dan mengurangi kuantitas penjualan peralatan nuklir ke negara pulau tersebut, sebagai upaya penyesuaian dari permohonan Cina agar AS tidak melakukan penjualan senjata dan perlengkapan militer terhadap Taiwan.

Sikap AS yang mendua selalu memicu kemarahan pemerintah Cina, menimbulkan sikap curiga Beijing terhadap kebijakan luar negeri AS khususnya yang berkaitan dengan masalah reunifikasi yang ditawarkan Cina terhadap Taiwan. Cina menganggap AS telah melakukan intervensi dan campur tangan terlalu dalam terhadap masalah dalam negerinya. Bagi Cina hubungan resmi antara AS dengan Taiwan merupakan ancaman terhadap proses dan upaya reunifikasi damai terhadap Taiwan dan dengan tegas Cina menentang setiap hubungan resmi AS-Taiwan khususnya dalam masalah perdagangan senjata AS ke Taiwan.

Pada dasarnya hubungan Beijing dengan Taipe mengalami perbaikan-perbaikan yang cukup kondusif untuk meningkatkan kerjasama-kerjasama khususnya di bidang ekonomi. Hal itu telah dimulai oleh Taiwan, namun klaim Cina terhadap Taiwan yang menyalakan bahwa Taiwan adalah propinsi yang memberontak terhadap Cina, yang harus dipertahankan dan dikembalikan ke pangkuan Cina, walau dengan kekuatan-kekuatan militer sekalipun, mengakibatkan ketegangan senantiasa terjadi dalam hubungan Beijing-Taipei.

Sebaliknya pemerintah Kuomintang di bawah pimpinan Chiang Khai Shek di Taiwan juga pernah mengklaim bahwa Cina daratan adalah bagian dari Republik Cina serta menyatakan bahwa Taiwan merupakan satu-satunya “wakil” resmi dari seluruh Cina, sehingga terjadi klaim tumpah tindih antara Cina dengan Taiwan terutama dalam masalah siapa yang menjadi “wakil” dari seluruh Cina.

Nama resmi Taiwan adalah Republik Cina (The Republic of China) walaupun tidak diakui oleh PBB. Republik Cina merupakan negara modern pertama di wilayah yang meliputi seluruh Cina daratan yang berdiri pada tahun 1949 dibawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Pasca perang dunia II terjadi perang saudara antara kelompok nasionalis (Kuomintang) di bawahi pimpinan Chiang Khai Shek melawan komunis dipimpin oleh Mao Zedong, yang dimenangkan komunis dengan berdirinya Republik Rakyat Cina bertahan di pulau tersebut hingga kini.

Kunjungan Presiden Nixon ke Beijing tanggal 21 Pebruari 1972 merupakan Iangkah awal bagi AS untuk menjaga keluwesan manuver politik luar negerinya dalam membangun strategi untuk menjalin hubungan dengan Cina melawan kekuasaan Uni Soviet, Nixon menekankan komunike bersama Shanghai (Shanghai Communique, 1972) yang menyatakan bahwa “ada satu Cina dan Taiwan adalah bagiannya”. Peryataan ini sangat ambivalen, tidak jelas siapa yang dimaksud oleh Pemerintah AS sebagai “wakil” dari seluruh Cina, apakah Cina atau Taiwan. Cina tetap selalu mempertahankan prinsip dan kebijakan politik satu Cina, di mana menurutnya Taiwan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Cina. Sehingga apa pun tindakan Taiwan dalam menarik perhatian dunia lnternasional dianggap sebagai upaya untuk memisahkan diri dan menolak reunifikasi damai seperti yang ditawarkan Cina.

Sebagaimana Ronald Reagen, elemen-elemen dalam kebijakan luar negeri George HW Bush (Bush senior) terhadap Cina dibangun melalui kebijakan pertahanan yaitu memberi perhatian terhadap posisi strategis Cina yang dapat mempengaruhi status AS sebagai negara adikuasa.
Artinya Bush masih menganggap bahwa AS harus tetap menjalin hubungan yang baik dengan Cina, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya, Bush tidak menggubris usulan-usulan kongres, agar Bush bertindak keras terhadap Cina. dalam pelanggaran HAM yang dilakukannya pada mahasiswa dan rakyat Cina pejuang reformasi dan demokrasi.

Dalam isu Taiwan, Bush menerapkan kebijakan yang menentang klaim Cina terhadap Taiwan. Hal ini ditunjukkan oleh Bush dengan melakukan penjualan pesawat F-16 kepada pemerintah nasionalis Taiwan. Bush melalui konsep “New World Order” bersama dengan negara-negara sekutu dan PBB mencoba membangun tata dunia yang lebih baik dan damai, bebas dari ancaman teror serta diterapkannya hukum internasional secara konsisten, dan salah satu dari kebijakan luar negeri AS dalam melaksanakan tata dunia baru (New World Order) adalah keterlibatannya dalam konflik Irak-Kuwait pada lahun I990. Sementara Bush tetap bersikap seolah tidak mau tahu banyaknya pelanggaran HAM di Cina demi menjalankan normalisasi hubungan AS dan Cina untuk kepentingan stabilitas dan keamanan Asia Timur khususnya. Hal ini merupakan dilema bagi kebijakan luar negerinya terhadap Cina yang atas tindakannya yaitu, Bush dianggap gagal dalam melaksanakan kebijakannya terhadap Cina, mengakibatkan dukungan Kongres menjadi berkurang dan hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh partai demokrat untuk menggeser kedudukan Bush sebagai Republikan dalam pemilihan presiden berikutnya.

Dalam masalah perdagangan akhirnya Bush memanfaatkan status MFN (Most Favored Nation) sebagai “senjata” untuk mendesak negara-negara tertentu agar mematuhi perlindungan hak-hak asasi manusia, tampaknya merupakan usaha untuk menyesuaikan diri dengan situasi sistem internasional baru paska perang dingin dan merupakan ciri baru pemerintahan Bush, di lain pihak ternyata proses pemberian status MFN tersebut sedikit banyak persyaratan masa perang dingin yang membedakan negara-negara komunis dan negara-negara non-komunis. Pernyataan tersebut memang dirancang untuk mendesak negara-negara komunis agar mau melakukan perubahan-perubahan politik dan ekonomi ke arah demokrasi dan kapitalisme. Dalam implementasi-nya Bush tidak begitu memberlakukan persyaratan yang ada dengan sangat tegas, suatu tindakan yang sangat disesalkan oleh Kongres pada saat itu.

Meskipun begitu, tindakan presiden Bush yang menginginkan penjualan 150 pesawat F-16 kepada Taiwan, telah menimbulkan kemarahan Beijing, walaupun tindakan tersebut didorong dinamika perpolitikan domestik AS terhadap Cina dengan Komunike Shanghai yang ada, seharusnya Bush dan pemerintah AS lainnya mampu mengatasi tekanan domestik yang dihadapinya. Dalam hubungan dengan AS, Cina memandang bahwa AS sangat berbakat untuk memanipulasi Cina, bagi tujuan strategis yang hendak dicapainya.

Dalam kenyataannya AS juga tidak segan-segan untuk intervensi dalam masalah politik Cina tanpa memperdulikan kedaulatan dan martabat Cina, hal yang dinamakan oleh David Shambaugh sebagai “Beautiful Imperialist,” bahwa kebijakan AS pada masa pemerintahan George H. W. Bush terhadap konflik RRC-Taiwan, AS dengan penampilan kebijakannya yang cantik dan halus, selalu berusaha mentransformasikan Cina ke dalam visi yang dianutnya (Ani W. Soetjipto, Masalah Taiwan dalam hubungan Cina-Amerika Serikat, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, 1996).

Kesimpulannya adalah Amerika Serikat merupakan negara berkekuatan global dan negara adidaya yang telah menjadi pemenang dalam perang dingin, dan RRC adalah negara yang memiliki kekuatan regional yang mulai tumbuh dan berkembang menjadi negara yang memiliki potensi sebagai sebuah negara adidaya, berkekuatan global pada pasca perang dunia. Sementara Taiwan adalah sebuah negara yang secara de facto merupakan negara yang berdaulat, namun secara de jure bukanlah negara yang merdeka, karena Taiwan tidak mendapat pengakuan internasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat dari PBB. Ditambah Amerika Serikat telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan pindah menjalin hubungan serta kerjasama yang membangun dengan Cina. Walaupun Amerika Serikat tetap mempertahankan hubungan dengan Taiwan melalui Taiwan Relation Act (TRA).

Sebagai negara adidaya, Amerika Serikat memiliki peranan dalam menentukan masa depan Taiwan, di samping Taiwan juga merupakan negara sekutunya sejak perang Korea. Di lain pihak, Cina juga ikut menentukan masa depan Taiwan dengan menyatakan bahwa Taiwan merupakan bagian dari wilayah Cina dan untuk mempertahankannya bila perlu menggunakan kekerasan.

Bagi Amerika Serikat, konflik Cina-Taiwan merupakan agenda tersendiri dalam politik domestik Amerika Serikat, di mana Amerika Serikat memiliki banyak kelompok kepentingan yang selalu berusaha mempengaruhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, sehingga apa yang terjadi pada hubungan dan konflik Cina-Taiwan dampaknya akan juga mempengaruhi kebijakan dan hubungan Amerika Serikat terhadap kedua negara tersebut.

Penulis adalah Intelektual Muda Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA),
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB);
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel)

Disclaimer: (makalah ini merupakan pendapat peribadi, orang lain dapat saja berpendapat berbeda)

Referensi:
Holsti. 1967. Politik Internasional. Jakarta. Pedoman llmu Jaya. hlm. 481.
Ani W. Soetjipto. 1996. Masalah Taiwan dalam hubungan Cina-Amerika Serikat, Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan. Jakarta. Pustaka Jaya. hlm. 120.
Abdul Ghopur. 2005. Kebijakan Amerika Serikat Pada Masa Pemerintahan George Herbert Walker Bush Terhadap Konflik RRC-Taiwan. Jakarta. Program Studi Ilmu Hubungan Internasional. Universita Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *