Jakarta dan Segala Emban Konsepsi Kebangsaan Indonesia

by -1,519,002 views

Oleh: Abdul Ghopur

Sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah ‘konsepsi kultural’ tentang suatu komunitas yang diimajinasikan sebagai entitas dari warisan teritoral jajahan Belanda. Sedang negara Indonesia adalah ‘konsepsi politik’ tentang sebuah entitas yang tumbuh berdasarkan kesadaran politik untuk merdeka dengan meletakkan individu ke dalam kerangka kerakyatan. Dalam kerangka ini, setiap rakyat dipertautkan dengan suatu komunitas politik dalam kedudukan yang sederajat di depan hokum (equality before the law), dengan operasi atas prinsip kekariban dan keadilan.

Persoalannya kemudian mengapa prinsip-prinsip kebangsaan, kenegaraan serta kewarganegaraan semakin hari semakin jauh? Bahkan jauh lebih menjauh setelah dikobarkannya reformasi Mei ‘98? Ada banyak jawaban, tetapi yang terpenting adalah karena; Pertama, problem Indonesia sesungguhnya adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan dan keadilan siang dan malam bagi warganya. Di dalam ketiadaan keadilan, keamanan dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.

Kedua, kita belum siap menerima keragaman. Padahal, keragaman bangsa bisa menjadi kekayaan jika negara mampu menjalankan fungsinya sebagai, apa yang disebut Mohammad Hatta, ‘panitia kesejahteraan rakyat’. Ketiga, kita terlalu terfokus pada pembangunan pusat atau ibu kota. DKI Jakarta sebagai ibu kota negara terlalu dijadikan pusat segalanya. Karena itu tingkat angkatan kerja, kejahatan dan frustasi selalu meningkat dari tahun ke tahun (terjadi fenomena bottleneck). Jakarta menjadi magnet yang mencuri kelebihan daerah. Seluruh potensi daerah seakan-akan dipaksa bekerja untuk Jakarta. Lahirlah sirkus centripetal dan centrifugal tak terkendalikan. Dari Jakarta negara didesain dan diadministrasikan, dari Jakarta pula negara dinistakan dan difrustasikan. Seharusnya, Indonesia bukan hanya Jakarta, demikian pula Jakarta bukan satu-satunya kota di Indonesia.

*Pemerintahan Hasil Reformasi yang Mediokratif

Pemerintahan hasil reformasi ternyata belum memiliki rencana besar yang aplikatif buat bangsa ini agar sampai pada cita-cita dasarnya. Dengan kata lain, pemerintah hasil reformasi tidak layak menyandang gelar pemerintahan yang reformis apalagi pemerintahan yang menegakkan negara amanat dan cita-cita Proklamasi. Gelombang besar reformasi politik seakan baru menghasilkan “mediokrasi/kedangkalan” berpolitik dan “political broker” bengis. Yang terjadi hanyalah satu tindakan pemujaan terhadap kedangkalan dan hal-hal yang remeh-temeh. Pemujaan terhadap sesuatu yang tidak menggunakan pikiran, hasil dari pengembaraan batin yang mendalam. Dengan kata lain pemerintah hasil reformasi tidak memiliki visi masa depan sama sekali. Yang ada hanya sekadar pembangunan fisik yang megah-megah yang ‘enggak’ tau buat siapa?

*Jakarta dan Rasa Keterasingan

Pertanyaannya kemudian, apa sesungguhnya produk terbesar pemerintahan era reformasi? Rasa terasing dan anti sosial (individualistis). Mungkin jawaban ini terlalu berlebihan. Tetapi faktanya, banyak laporan di media bahwa orang-orang mulai terasing dari negerinya sendiri, terasing dari lingkungannya di Jakarta, terasing dari nilai-nilai dasar kemanusiaannya, terasing dan tercerabut dari akar tradisi budayanya. Terasing karena ketidakhadiran pemerintah di tengah deru penderitaan rakyat yang tak kunjung berhenti. Kalaulah bantuan sosial (Bansos) dan bantuan Presiden (Banpres) sudah dianggap mewakili kehadiran pemerintah, buat saya peribadi (maaf) terlalu naif. Meskipun sebagian orang, doyan juga (baca: karena terpaksa). Kita pun menyaksikan sebagian besar “Orang Jakarta” banyak yang menjadi “Kaum Abai”. Orang-orang sudah tak perduli lagi satu sama lainnya. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Tidak ada lagi tegur-sapa satu sama lainya, tidak ada lagi orang mengenal tetangga rumahnya sendiri, apalagi mengenal RT sebelah? Dus, orang-orang di Jakarta hidup dengan suasana saling “curiga” dan penuh kekhawatiran satu-sama lain. Singkatnya, bangunan sosial budaya masyarakat Jakarta menjadi sangat rentan, individualistis dan pragmatis, sekaligus rapuh dan antagonis!

Pada gilirannya, hilanglah karakter dan jati diri bangsa dan karakter sosial masyarakat perkotaan seperti Jakarta. Jika ini yang terjadi, cita-cita akan Jakarta yang beradab, dimana semua etnis, suku, agama, ras dan ragam budaya yang berkumpul di Ibu Kota dipertautkan menjadi miniatur Indonesia, akan tetap menjadi cita-cita, dan “Miniatur Indonesia” akan tetap menjadi slogan dan hanyalah angan-angan serta mimpi di siang bolong.

Kalau ada penelitian yang menyatakan dari Jakarta, Indonesia ada, disebabkan pertautan kebangsaan tadi, tetapi melihat fenomena di atas, maka dari Jakarta, Indonesia menjadi epicentrum perpecahan dan terkoyaknya nasionalisme bangsa di daerah-daerah lain di Indonesia. Lantas, bagaimanakah Jakarta atau “Orang-orang Jakarta” idealnya? Jakarta atau “Orang Jakarta” selaiknya menghormati hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum, dan memastikan proses demokrasi yang memungkinkan bagi terciptanya partisipasi masyarakat secara luas dalam menentukan nasib mereka sendiri.

Ini hanya dapat dicapai dengan mengubah struktur dasar dari mental dan pola pikir masyarakat Jakarta yang majemuk, tidak hanya dari sistem kekuasaan dan hukum, tetapi juga budaya dari masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, orang harus berperan aktif untuk mewujudkan impian mereka tentang “Miniatur Indonesia.” Namun, akankah Jakarta benar-benar menjadi “Miniatur Indonesia?” Dan, sekarang banyak orang menaruh harapan yang tinggi pada Gubernur Anies Baswedan. Tinggal sisa setahun kurang dua bulan masa periode-nya. Semoga saja dia konsisten membangun Jakarta hanya demi kemaslahatan warga Jakarta kebanyakan dan bukan segelintir elit dan etnis atau golongan tertentu saja. Ini semua pendapat saya peribadi yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 (kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang) serta refleksi kebangsaan kita, demi kemajuan bangsa ini. Semoga Anies bisa memberikan kado akhir tahun terindah bagi warga Jakarta sesuai komitmen dan slogannya “Warga Jakarta Yang Bahagia”!

Penulis adalah Intelektual Muda NU;
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB),
Inisiator Yayasan Kedai Ide Pancasila
(menulis banyak buku dan artikel).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *