Hermeneutika Pancasila, Menafsirkan Al Quran di Konteks Ke-Indonesia-an untuk Konsensus Beragama & Bernegara

by -1,665,637 views

Yogyakarta – Dalam era dimana sekat ruang dan waktu semakin menghilang, dialektika-dialektika antara pihak dengan berbagai latar belakang makin sering terjadi, tak jarang pertemuan ide, perbedaan interpretasi dan pemaknaan ini menimbulkan benturan benturan yang mengakibatkan terjadinya gesekan dalam masyarakat yang lebih jauh dapat menyebabkan pertikaian antar golongan.

Karena Itulah Ahmad Muttaqin dalam disertasi yang diujikan pada Jumat 26 Agustus 2022 membahas Mengenai HERMENEUTIKA PANCASILA: Paradigma Penafsiran Al-Qur’an Konteks Keindonesiaan. Pemilihan Judul dan topik Ini dilatar belakangi oleh problem teoretis penafsiran Al-Qur’an dalam konteks keindonesiaan. Meskipun pendekatan kontekstual telah mengalami perkembangan, pendekatan penafsiran yang berakar dari prinsip keindonesiaan belum sepenuhnya dibangun secara paradigmatis.

Mutaqqin berargumen bahwa pendekatan kontekstual masih perlu dikembangkan dalam konteks keindonesiaan yang memiliki perbedaan dengan bangsa atau negara lain.

Pancasila sebagai dasar dan pedoman berkehidupan, berbangsa dan bernegara di Indonesia tentunya dapat menjadi basis penafsiran. Pancasila tidak hanya sebagai ekstrak nilai kultural dan representasi konteks sosial, tetapi juga dapat diaktifkan menjadi paradigma penafsiran Al-Qur’an. Karena itulah penelitian ini memiliki tujuan untuk menjawab tiga rumusan masalah yaitu bagaimana konstruksi paradigma kontekstual Al-Qur’an yang telah ada dan mengapa masih perlu dikembangkan dalam konteks ke-Indonesia-an?

Mengapa paradigma penafsiran Al-Qur’an konteks keindonesiaan perlu melibatkan Pancasila? Dan bagaimana konstruksi paradigma penafsiran Al-Qur’an konteks keindonesiaan yang berbasis Pancasila.

Dalam Ujian Promosi doktor ini mengemuka bahwa upaya mendialogkan Pancasila sebagai representasi keindonesiaan telah banyak dikaji untuk diintegrasikan dalam studi keislaman. Namun, selama ini upaya tersebut lebih cenderung pada legitimasi sila Pancasila dengan ayat atau mencari kesesuaian nilai keduanya.

Menanggapi hal tersebut Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang hadir sebagai Promotor dan penguji menyatakan bahwa perlu dibangun Konsensus antara para pihak dalam metodologi penafsiran, seringkali hal yang sebenarnya sama sama baik dianggap bertentangan karena perbedaan metodologi, tafsir dan sudut pandang.

“Karenanya Konsensus yang hanya bisa didapatkan melalui musyawarah dan mufakat merupakan unsur penting dalam upaya menjembatani perbedaan perbedaan sudut Pandang, karena Konsensus adalah pertemuan pemikiran, bukan penyeragaman.” tegasnya.

Lebih lanjut Muttaqin menyatakan bahwa Pancasila adalah konteks kekinian dalam penafsiran kontekstual keindonesiaan. Selain sebagai ideologi, ia dapat dikembangkan menjadi paradigma keilmuan dalam penafsiran.

“Pancasila juga memiliki nilai religius-humanistis sebagaimana prinsip pendekatan kontekstual. Ia memiliki unsur Ilahi sekaligus manusiawi, universal sekaligus lokal, absolut sekaligus relatif, abadi sekaligus sementara, dan tekstual sekaligus kontekstual. Hukum kepasangan ini tidak hanya terkandung dalam setiap sila Pancasila, tetapi juga dilihat dari keseluruhan sistem Pancasila dan karenanya Pancasila dapat menjadi model realitas sekaligus idealitas penafsiran konteks ke-Indonesia-an.” tuturnya.

Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Antonius Benny Susetyo yang juga hadir dalam kesempatan itu sebagai penguji memberi pertanyaan mengenai apa manfaat praktis dari penelitian ini, yang tidak hanya berguna Bagi BPIP sebagai Badan yang bertugas mengelola dan memberikan pembinaan Pancasila ke hadapan publik .

Ahmad Mutaqqin kemudian menjawab bahwa fungsi dari penelitian Ini adalah membuktikan bahwa Pancasila adalah representasi yang penting dan valid dari sisi Keindonesiaan karena Pancasila tidak hanya mengakomodir sisi Ketuhanan yang sejalan dengan Al-Quran tetapi juga sisi berkehidupan dan bertingkah laku , lebih lanjut hal ini membuktikan Bahwa Pancasila dan Agama bukan hal yang berseberangan dan harus dipilih salah satu.

“Segala jenis perbedaan sudut pandang dan tafsir dapat dikelola dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar hingga perbedaan yang terjadi semata mata berguna untuk memperkaya keilmuan dan sudut pandang, bukan untuk dipertajam hingga berujung pada perpecahan,” tutup Mutaqqin dalam acara yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *