Pesan Penting PBNU dalam Pertahankan NKRI

by -2,684,971 views

Jakarta – Wakil Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Prof. Maksum menyampaikan beberapa pesannya kepada para mahasiswa agar meneladani ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Pesan pertama itu adalah at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.

“Dalam firman Allah Surat Al Baqarah 143 ini jelas bahwa, telah di jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian,” ungkap Maksum saat menyampaikan tauziyahnya dihadapan pimpinan OKP Kemahasiswaan Cipayung yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB), di PBNU, Jumat (16/12/2016).

Autocritik Indonesia bertema “Menjahit Merah Putih, Merajut Kembali Nasionalisme Kita yang Terkoyak, Merebut Kembali Negara” itu dihadiri narasumber diantaranya Sahat Martin Philip Sinurat (Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia/GMKI), Crhisman Damanik (Ketua Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia/GMNI), Angelo Wake Kako (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia/PMKRI), Hardy Stefanus (Ketua Umum Generasi Muda Perhimpunan Indonesia-Tionghoa/GEMA INTI), Suparjo (Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia/HIKMAHBUDHI), Hadison (SekJend. PP. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama/IPNU) dan Abdul Ghopur (Wk. Sekretaris PP.LESBUMI NU/Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa/LKSB; Intelektual Muda NU).

Maksum melanjutkan pesan berikutnya adalah at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT didalam QS al-Hadid: 25 menyebutkan bahwa “Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”.

Pesan ketiga, kata Maksum yaitu al-i’tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur’an Allah SWT juga berfirman “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)”.

“Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama’ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini,” jelasnya.

Intelektual Muda NU Abdul Ghopur mengaku bangga dan patut disyukuri yang dengan keunikan Indonesia yang merupakan negara besar terdiri dari beragam etnis, suku, ras, bahasa, agama dan budaya.

“Keunikan Indonesia tersebut merupakan kekayaan bangsa yang patut dibanggakan dan disyukuri, serta harus dijaga sekuat-kuatnya,” ucap dia.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Bangsa/LKSB itu mengingatkan agar setiap warga negara–bangsa Indonesia wajib mengelola dan menjaga kemajemukan tersebut agar mendatangkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis dan sejahtera–berkeadilan. Namun pada saat yang bersamaan, kata dia, Indonesia juga masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kebangsaan, nasionalisme dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural.

“Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa dan agama, secara jujur, kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa. Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini baik secara vertikal maupun horizontal,” tuturnya.

Tak hanya itu, tambah dia, marjinalisasi di bidang politik, hukum dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan keotik di bidang sosial-politik.

“Apa buktinya? Beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan atau bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidak-adilan sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *