Peneliti LIPI: Kita Harus Respek ke TNI/Polri Demi Wujudkan Pemilu Damai

by -2,414,464 views

JAKARTA – MARAKNYA hoaks menjelang Pemilihan Umum 2019 ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Setelah Indonesia berhasil dengan Pilkada serentak 2018, hoaks menjadi fenomena Pilpres tersendiri.

Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Prof Dr R Siti Zuhro MA, mengatakan, di negara mana pun pernak-pernik nuansa kompetisi tidak bisa dielakkan dalam Pilpres. Maka, perkataan bohong atau sepak terjang politik yang menarik pasti ada.

Namun, menurutnya, masyarakat sekarang lebih kritis sehingga tidak bisa dibohongi lagi. Indonesia kini membutuhkan ‘smart people’ (orang cerdas) sehingga peran elite tidak lagi terlalu diperlukan. Masyarakat punya daya nalar sebagai pemilih.

Ketika calon, baik capres maupun caleg, mendemonstrasikan program-program yang membumi dan langsung menyentuh hal-hal yang paling mendasar, masyarakat (pemilih) akan tersentuh dan ikut merasakan. Dan untuk saat ini kebijakan ekonomi sangat dibutuhkan masyarakat.

“Jokowi (Joko Widodo) harus mampu meyakinkan masyarakat untuk bisa menyugesti masyarakat, dan Prabowo harus mampu menandinginya,” ujar Siti Zuhro di ruang kerjanya, Jumat (8/2).

Jika angka swing voter atau golput masih tetap bertahan, berarti masih ada yang salah dengan kedua pasangan calon. Karena itu, menurut Siti, kedua calon harus mampu meyakinkan dan membuat pemilih hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Bagaimana pun masyarakat diperlukan dalam demokrasi. Tidak akan ada demokrasi tanpa partisipasi masyarakat. Dan tidak akan demokrasi juga tanpa representatif wakil-wakil rakyat di DPR. Tanpa masyarakat, demokrasi kita menjadi hambar dan tidak bermakna karena mereka lah (masyarakat) pemegang kedaulatan sebenarnya.

Sayangnya, kata Siti, hal itu jarang dikembangkan. Masyarakat jarang dihormati sebagai warga negara karena itu elite politik harus mampu membuat masyarakat yang mempunyai kepemilikan (ownership) yang kuat terhadap bangsa.

“Masing-masing capres sudah mempunyai ceruk suara, tinggal mereka harus cerdas mengambil swing voter dan undecided voter, ” ujarnya.

Sebagai petahana, Joko Widodo harusnya bisa menjawab secara rinci melalui menteri-menterinya. Sehingga siapa pun yang melakukan kebohongan, mereka akan mendapat kulminasi dan mendulang akibatnya masyarakat yang sekarang cerdas.

Pada kesempatan itu, untuk menjaga pemilu yang damai, aman, dan kondusif, ia juga mengajak masyarakat dan seluruh pihak untuk saling percaya dan saling menghormati. Di sisi lain kita juga harus menaruh hormat (respek) kepada Polri, TNI, dan semua institusi. Belajar dari pelaksanaan Pilkada serentak, tentu aparat Polri harus mampu menjaga hubungan baik dengan semua pihak.

“Hentikan ujaran kebencian, sebab setiap agama pasti mengajarkan kebaikan,” tegas Siti.

Pilkada serentak yang telah berlangsung di 171 daerah tahun lalu di daerah-daerah strategis lumbung suara tapi justru bisa berlangsung damai. Dan itu bisa menjadi pemantik (starting point) penciptaan pelaksanaan Pemilu 2019 yang kondusif.

Karena dengan praktik Pilkada serentak di 171 daerah yang notabenenya ikut menentukan kalau kita jadikan barometer seperti apa perolehan suara yang akan terjadi pada Pemilu serentak 2019 itu akan terbaca di 2018 yang justru tidak ada keributan, bahkan bernuansa vilonce.

“Ini yang kita sebut sebagai pembangunan prakondisi yang betul-betul menjadi midelitas kita dalam menjalani, menapaki tahapan-tahapan dari Pemilu serentak 2019, yang di situ ada Pemilu Legislatif dan di sisi lain ada Pemilu Presiden,” ujar Siti optimistis.

Meski diketahui bahwa antara Pilpeg dan Pilpres pada 2019 ternyata Pilpres luar biasa lebih dominan. Jadi, asumsi situasi yang kondusif pada pelaksanaan Pilkada di Jakarta pada 2017 bisa dikatakan menjadi pendorong bagi terjadinya suatu kecenderungan terjadinya konflik di Pilkada 2018 ternyata sama sekali tidak terjadi.

Kalaupun terjadi, asumsinya ada di Pilkada Jawa Barat, Kalimantan Barat, bahkan di Jawa Timur. Namun semua asumsi itu dipatahkan oleh Pilkada serentak 2018 yang ternyata senyap dan damai saja.

“Kita justru menyaksikan konstentasi yang ditunjukkan oleh para calon kepala daerah baik itu di provinsi maupun kabupaten/kota sangat elok. Baik dari aspek konstitusi maupun debat di depan khalayak masyarakat lokal yang ditayangkan pada TV nasional, itu sangat menggembirakan kita karena bisa menjadi landasan bagi kita bahwa Pemilu 2019 akan terjadi chaos, kerusuhan, kekerasan, dan sebagainya. Karena ini akan membebani institusi penegak hukum kalau hal itu dibesar-besarkan, padahal tidak. Saya termasuk yang berargumentasi bahwa Pilkada 2018 jangan didorong-dorong seolah-olah di daerah tertentu akan rusuh/konflik,” ungkapnya.

Siti menegaskan bahwa Kasus pilkada di DKI pun tidak ada kerusuhannya, hanya saja kaum elitnya yang sembrono karena berargumentasi yang menyentuh urusan agama. Itu yang seharusnya jangan dilakukan. Hal ini tidak boleh terulang lagi pada pemilu serentak 2019. Sebab kita sepakat bersama untuk bagaimana menjaga pemilu yang damai, berkualitas, berintegritas dan penuh peradaban betul-betul berlangsung. Jadi pemilu ini adalah pertanda dari bagaimana kita menjalankan konsolidasi demokrasi. Itu yang sesungguhnya paling penting.

Siti juga menambahkan ada kemuliaan dari masyarakat Indonesia yang tentu memiliki nilai-nilai budaya lokalnya tersendiri. Jadi, pada saat-saat tertentu di mana terjadi silang pendapat, begitu meruncing sampai pada titik kulminasi langsung cooling down sendiri. Dan itu ditandai oleh Pilkada 2017.

“Ketika mencapai titik kulminasinya pada ketidakpuasan dan kekecewaan yang dimuntahkan waktu itu sudah sampai di situ saja. Habis itu cooling down dan langsung menyadari bahwa kita ini adalah ‘unity diversity’, kita menyadari bhinneka tunggal ika, bahwa kemajemukan itu menjadi kekuatan bagi kita. Jadi ada semacam pemahaman secara kolektif bagi masyarakat Indonesia untuk tidak terus menerus melanjutkan saling-saling yang negatif, melainkan digantikan menjadi yang saling positif,” tambahnya.

Masyarakat sudah jengah dengan sensasi dan ‘bluffing’ dan sebagainya dari para pasangan calon yang ada. Kejengahan masyarakat saat itu disampaikan kepada publik.

“Dua pasangan calon tolong hentikan cara-cara seperti itu. Kita hanya butuh menyaksikan kualifikasi, kualitas, karakter kepemimpinan dari dua pasang calon bukan yang lain. Masyarakat bisa mengatakan itu untuk menjaga dan mengawal untuk juga mengatakan jangan diteruskan hal-hal yang buruk itu. Ini adalah konstentasi untuk pemimpin di tingkat nasional bukan di level RT/RW. Jadi ada reminder (pengingat) dari civil society (publik) yang terjaga 24 jam untuk itu,” pungkas Siti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *