Gubernur itu Abdi Negara alias Pelayan, Kepanjangan Tangan Presiden

by -1,385,586 views

Jakarta – Aliansi Masyarakat Dan Pemuda Pendukung Ahok – Djarot (Ampe2aja) kembali menggelar pengajian blusukan “Islam Rahmatan Lil’Alamien” di daerah basis Anies-Sandi Padat Penduduk Kalibaru Jakarta Utara, Senin (13/3).

Materi pengajian blusukan ini khas dan pernah dipopulerkan Gus Dur yaitu ngaji kebangsaan dengan memberikan pemahaman politik dan Islam menyikapi fenomena di DKI Jakarta saat ini. Dalam kesempatan kali ini, Gus Sholeh menyatakan setiap warga negara bebas menentukan pilihan politiknya dalam memilih pemimpin tanpa melihat latar belakang agama yang dianutnya.

“Pilih Kepala Daerah nonmuslim tidak masalah, no problem. Jangan gegeran kafir mengkafirkan padahal politik bukan agama. Yang suka pada nomor 2 ya silahkan jangan dimusuhin,” kata Gus Sholeh.

Sebelumnya, sekitar 100 kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) melalui forum bahtsul masail atau forum diskusi keagamaan juga memutuskan hal serupa bahwa seorang Muslim diperbolehkan memilih pemimpin non-Muslim.

Menurut Gus Sholeh, terpilihnya non-muslim di dalam kontestasi politik, berdasarkan konstitusi, adalah sah jika seseorang non-muslim terpilih sebagai kepala daerah. Dengan demikian, keterpilihannya untuk mengemban amanah kenegaraan adalah juga sah dan mengikat, baik secara konstitusi maupun secara agama. Menurut dia, Gubernur itu hanyalah sebagai abdi negara alias pelayan.

“Pemimpin Kepala Daerah itu adalah abdi negara dibayar oleh rakyat, dan Gubernur adalah kepanjangan tangan dari Presiden. Jadi dinegara demokrasi ini beda dengan sistem dengan negara khilafah dan kerajaan, Gubernur itu bukan raja tapi abdi negara,” terang Gus Sholeh.

Lebih lanjut, Gus Sholeh menghimbau kepada jamaahnya untuk tidak termakan isu dan terhasut untuk saling memusuhi dan saling membenci. Umat Islam di Indonesia juga agar meredakan ketegangan dalam setiap kontestasi politik karena hal tersebut dapat berpotensi memecah belah umat Islam.

“Suka banyak teman atau banyak musuh ? Umat Islam harus bisa memisahkan agama dengan politik. Saya mengimbau semua, untuk betul-betul menempatkan agama pada tempat yang sebenarnya. Jangan mau dibodoh-bodohi dengan oknum elit politik, agama kok jadi dijadikan alat politik sesaat untuk meraih kekuasaan,” bebernya.

Gus Sholeh mengakui bahwa isu agama telah dimainkan di momentum pesta demokrasi ini. Dia kembali mengingatkan bahwa politik ini bukanlah aqidah tapi politik itu kepentingan duniawi dan kepentingan kekuasaan.

“Jangan mau diprovokasi gara-gara perbedaan. Ini penyesatan umat Islam. Karena kepentingan politik sesaat, digunakan ayat-ayat Al Quran untuk serang lawannya. Jangan sampai karena berbeda kita malah saling membenci, kita mau dapat apa ? Setelah Gubernur yang dicoblos jadi juga kita tetep gini-gini saja. Terus ngapain berantem,” ungkap Gus Sholeh.

Gus Sholeh melanjutkan dia tidak mempermasalahkan umat Islam mau pilih paslon Gubernur siapa saja, antara yang programnya yang sudah jelas (nyata) bermanfaat untuk masyarakat dan yang baru mau coba-cooba atau baru berbuat.

“Saya tidak memaksakan, mau pilih siapa ya monggo. Jangan dikafir-kafirkan, mau pilih calon yang sudah jelas programnya ya monggo, pilih yang baru coba-coba juga monggo. Jangan gara-gara pencoblosan saja kita berantem, pisah RT/RW. Pemilu itu jurdil dan rahasia, hak masing-masing,” tuturnya.

Intoleransi Sesama Umat Islam Makin Kasat Mata

Sementara itu, menyoroti pemasangan spanduk penolakan pengurusan jenazah di masjid. Gus Sholeh menilai kecenderungan intoleransi makin terlihat. Kecenderungan intoleransi sesama umat Islam semakin kasatmata dan tergambar dengan adanya spanduk di sejumlah masjid yang tidak menerima pengurusan keagamaan jenazah muslim bagi pemilih dan pendukung pemimpin non-muslim.

“Di media-media hanya karena beda politik saja sudah menolak di sholati. Sudah tidak mau sholati, pisah majelis, dll. Ingat, politik itu bukan aqidah,” jelasnya.

Gus Sholeh menuturkan bahwa diciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling kenal kenal mengenal. Jadi, jangan hanya karena perbedaan politik, kekuasaan, perbedaan mahzab jadi berperang.

“umat Islam yang mayoritas di Indonesia harus lah cerdas, mana itu politik dan mana agama yang sesungguhnya. Demi keutuhan bangsa, ulama kita cerdas dan tidak egois agar utuh maka dipilihlah negara Pancasila. Sebab di Indonesia tidak hanya Jawa saja tapi suku lain ada. Orang luar seneng jika ribut terus karena mereka adu domba sehingga masing-masing daerah minta merdeka,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *