Gerakan Mahasiswa Tercoreng Jika Cuma Ikut-Ikutan Saja

by -1,374,147 views

Jakarta – Gerakan Mahasiswa perlu disoroti kembali, apakah apa yang digerakkan oleh Mahasiswa di beberapa agenda aksi parlemen jalanan memiliki esensi yang sesuai dengan kemurnian Gerakan Mahasiswa atau hanya sebatas seremonial atau pesanan isu belaka.

Menanggapi hal itu, Ketua Komite Reforma Agraria di Presidium GMNI, Desta Ardianto pun angkat bicara. Ia menilai bahwa gerakan Mahasiswa yang sebenarnya adalah gerakan yang murni, independen, dan kritis.

“Gerakan mahasiswa itu harus murni, independen, dan kritis, dan inilah yg sebenernya gerakan mahasiswa,” kata Desta dalam sebuah diskusi di Menteng, Kamis (30/3/2017).

Hanya saja, ia menilai banyak gerakan Mahasiswa saat ini yang justru hanya untuk kepentingan seseorang atau kelompok tertentu, dan hanya berdasarkan pragmatisme sesaat.

“Situasi saat ini banyak digerakkan oleh aktor-aktor elit tertentu, kepentingan siapa kah ini, menguntungkan siapakah ini. Dan inilah yang sebernarnya harus kita kaji bersama,” tukasnya.

Untuk itu, Desta pun meminta agar Mahasiswa saat ini lebih bijak dan lebih cerdas dalam memilih sebuah gerakan atau isu. Sehingga citra mulia gerakan Mahasiswa sebagai agent of change dan agent of control tetap berada di derajat yang lebih baik.

Gerakan Mahasiswa Jangan Asal Ikut-ikutan

“Gerakan mahasiswa ini jangan sekedar ikut-ikutan saja. Jangan sampai gerakan mahasiswa saat ini jadi gerakan yang mudah ditunggangi dan mudah dibayar pakai nasi bungkus saja,” ujarnya di hadapan para Mahasiswa di Jabodetabek itu.

Dalam kesempatan yang sama, eks aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Masyur Harahap memiliki pesan yang sangat dalam kepada para Mahasiswa, yakni lebih banyak membaca dan memperkaya literasi, sehingga apa yang menjadi kajian hingga jika sampai turun ke lapangan, tidak kopong-mlompong.

“Gerakan mahasiswa begitu ideal, harus berangkat dari diskursus ilmiah. Jika gerakan itu ditunggangi maka gerakan itu mudah dibantah dan dimentahkan. Jika semua gerakan mahasiswa diawali dengan diskursus, maka tidak akan mudah dimentahkan,” ujar Masyur.

Ia pun mengingatkan jika Mahasiswa dalam menyampaikan suara dan aspirasinya tidak harus melulu melalui gerakan parlemen jalanan. Sensitifitas dan kepekaan terhadap berbagai problema dan isu sosial nasional bisa dilakukan dengan cara yang jauh lebih bijak, yakni dengan menulis.

“Yang perlu kita pahami adalah, bahwa padahal gerakan mahasiswa itu tidak harus melulu aksi turun ke jalan, menulis juga gerakan mahasiswa. Ketika kepekaan, rasa dan sensitifitas gerakan Mahasiswa sudah mati, maka hancurlah peradaban,” tukasnya.

Mahasiswa Harus Kaya Literasi

Tampak senada dengan Masyur, eks aktivis yang juga pengamat politik Boni Hargens sempat berkisah dengan para Mahasiswa, bahwa selain melakukan aksi-aksi di jalanan, dia juga sudah aktif menulis di media massa sebagai penopang upaya sensitifitas sosialnya dengan cara yang juga lebih ilmiah.

“Dahulu, kami suka demo tapi kami juga sudah suka menulis di Kompas, di Tempo, dan media massa lainnya. Jadi perkaya dengan literasi, sehingga kamu harus bisa merdeka secara fikiran untuk membuat kamu akan merdeka secara fisik,” ujar Boni.

Selain itu juga, pengupasan masalah secara ilmiah juga mampu mempertajam kontekstual isu yang sedang diangkat. Sehingga jelas materi isu yang digaungkan menjadi sangat tajam dan memiliki target yang jelas dan terarah.

“Demonstrasi boleh, tapi tujuan dan targetnya harus kuat. Karena jangan sampai gerakan mahasiswa itu hanya sebatas di demonstrasi saja. Gerakan mahasiswa harus memiliki landasan gagasan yang jelas. Kalau kita tempatkan gerakan Mahasiswa di situ, maka kita akan kuat,” ujar Boni lagi.

Sementara itu, peneliti senior dari Indonesia Public Institue (IPI), Karyono Wibowo mengingatkan bahwa ada beberapa kategori aliran Mahasiswa saat ini. Berdasarkan kajiannya, ia memecah menjadi 4 kategori berbeda. Diantaranya adalah :

1. Realistis Kritis
2. Radikal Progresif Revolusioner
3. Radilan Anarkis Emosional
4. Ideologis

Dari empat klasifikasi jenis aliran Gerakan Mahasiswa saat ini, ia sangat berharap agar Mahasiswa sekarang bisa melihat gerakan mana yang harus diikuti.

Gerakan Mahasiswa Stop Angkat Isu Rasial

Pun demikian, Karyono mengisahkan bahwa Gerakan Mahasiswa dahulu terbilang masih sangat fundamentalis. Betapa tidak, pun ada aksi parlemen jalanan, konteks yang mereka angkat bukan berada di lingkaran kecil, melainkan lingkaran yang jauh lebih besar yakni masalah rakyat secara universal.
“Ada sesuatu hal yang sangat fundamental yang mereka perjuangkan saat itu. Tentunya gagasan besarnya apa, yakni membebaskan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan,” kata Karyono.

Dan jika ditarik dengan gerakan Mahasiswa dewasa ini justru ada yang berbeda, yakni masalah rasial pun bisa menjadi pemicu kemarahan Mahasiswa hingga melakukan gerakan aksi unjuk rasa yang masif.

“Uniknya, gerakan mahasiswa saat itu tidak mengangkat unsur agama tuh, karena mereka sadar yang paling penting adalah kemerdekaan Indonesia,” terangnya.

Artinya menurut Karyono, sebelum kemerdekaan bahwa isu agama itu sudah selesai. Dan para Mahasiswa juga sudah sadar bahwa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku, golongan dan agama.
Namun jika persoalan rasial tetap dilakukan Mahasiswa saat ini, Karyono menilai itu adalah wujud dari kemunduran Gerakan Mahasiswa yang sejatinya.

“Kalau ini dipertahankan, maka akan menjadi sangat primitif, Gerakan Mahasiswa mengalami kemunduran,” tukasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *