Apapun Pertengkarannya, Selama Ada Bhinneka Tunggal Ika Tetap Utamakan Persatuan

by -1,685,267 views

Jakarta – Isu SARA tiba-tiba menjadi referensi dalam Pilkada DKI Jakarta yang segera menimbulkan resonansi di luar ibukota yang oleh banyak pihak dianggap mengkhawatirkan terhadap kebhinekaan yang merupakan faktor perekat dan fondasi kebangsaan.

Banyak pihak pun ikut angkat bicara perihal pernyataan Ahok yang kini ramai diperbincangkan.

“Namun apapun pertengkaran itu, selama kita memiliki semangat Bhinneka Tunggal Ika, akan tetap mengedepankan persatuan dan kesatuan, musyawarah – mufakat,” demikian disampaikan tokoh kultur NU, As’ad Ali Said, Kamis (3/11/2016).

Menurutnya, isu SARA merupakan bagian dari politik identitas yang lazim di negara yang menganut sistem politik demokrasi. Sepanjang masih berada jalur Kebhinekaan, tentu saja tidak menjadi masalah.

“Tetapi persoalannya yang terjadi pada saat ini sudah mengarah ke jalur mengkhawatirkan dan berpotensi menjadi awal perpecahan, ” ucapnya.

Lebih lanjut, As’ad Ali berpesan agar peserta demo harus tetap menjaga kedamaian, ketertiban dan tidak membawa isu SARA. Tak bisa dipungkiri, lanjutnya, bahwa ramainya aksi demo menolak penodaan agama menjadi faktor pemicu (Trigger) yang mempercepat penyebaran isu SARA, ada berkaitan dengan kontestasi pilgub DKI.

“Sebelum ada polemik kasus itu, sudah ada anti Ahok dan triggernya Ahok salah ngomong,” ujarnya.

Dia mengapresiasi langkah Ahok yang meminta maaf terkait ucapannya yang dinilai menyinggung salah satu kelompok atau golongan.

“Bukan saya dukung Ahok ya, Tapi yang tolak Ahok cagub harus mencari kelemahan Ahok selama memimpin Jakarta, bukan kesukuanya atau agamanya, “papar As’ad Ali.

Namun ia menegaskan bahwa proses demokrasi 2017, harus lebih mengedepankan kepada program kerja para kandidat calonnya tersebut.

“Pilkada Jakarta adalah strating poin dalam membangun kebangsaan kita, ” demikian As’ad Ali.

Demo 4 November Dijadikan Alat Buat Kegaduhan

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ade Komarudin khawatir demonstrasi yang mengatasnamakan ‘Aksi Bela Islam’ jilid II itu dijadikan alat oleh pihak-pihak yang ingin membuat kegaduhan dan kerusuhan di negeri ini.

“Saya takut ada ormas yang anggotanya diperalat oleh kelompok-kelompok tertentu dan masuk skema sebagai martir yang bertujuan membuat negara semakin tidak terkendali,” tutur Akom.

Ade mengatakan bahwa nampak berbagai aktivitas di sejumlah daerah agar proses itu segera diperjelas.

“Situasi ini mulai mengkhawatirkan bila melihat sebaran demonstrasi masyarakat,” ucapnya.

Selain itu, dia juga meminta pada pemimpin bangsa agar turut bertanggung jawab untuk menjaga kedamaian serta ketenangan pada masyarakat yang tengah berapi-api itu.

“Perlu kebijaksanaan dan perhatian sangat serius dari para pemimpin bangsa saat ini,” tandasnya.

Pertikaian Eksistensi Kepentingan & Kekuasaan Libatkan Fundamentalis Kanan sebagai Boneka Mainan

Komunitas Masyarakat Pecinta-Kedamaian Indonesia Hakiki (KMP-KIH) memandang demo 4 November cuma satu dari sekian agenda (mendadak & kebetulan) politik dari sekelompok orang yang digerakkan oleh sekelompok orang lainnya.

“Kelompok ini kita sebut saja sebagai fundamentalis kanan. Fundamentalis kanan ini terdiri dari 3 kelompok, yakni: 1) miskin, 2) menengah, 3) elit,” papar Koordinator KMP-KIH Fadly Zein.

Kelompok yang digerakkan, sudah pasti kelompok miskin. Mereka yang mau turun ke jalan, itupun karena ada imbalan, ada bayaran. Pada kelompok miskin ini juga bisa dikelompokkan lagi menjadi 2, yakni: 1) miskin non melek internet, 2) miskin melek internet. Kedua kelompok itu siap turun ke jalan, kapanpun dimanapun, yang penting ada imbalan, ada bayaran. Umumnya, mereka tidak punya pekerjaan tetap, kalaupun ada yang punya pekerjaan tetap, semisal pedagang kecil atau kuli, mereka tetap mau ikut demo karena imbalannya sama dengan yang diperoleh saat dia kerja harian.

Kelompok lain yang digerakkan adalah kelompok menengah, kelompok ini selain digerakkan, juga banyak yang tergerak sendiri. Mereka kelompok yang bukan hanya melek internet, tapi aktif menggunakan internet. Mereka menolak turun ke jalan, karena mereka punya pekerjaan tetap, yang kalau ditinggalkan akan mengancam kelangsungan karirnya di tempat kerja.

Kelompok menengah ini punya peran di sosial media. Mereka yang sibuk share, posting dan chatting di berbagai group, forum dan kanal berita. Tidak seperti kelompok miskin yang kerjanya ikut demo dari pagi sampai petang. Kelompok menengah kerjanya dari mulai matahari terbit sampai matanya terpejam.

“Terakhir, adalah kelompok yang menggerakkan, kita sebut di sini sebagai kelompok elit. Kelompok elit ini cuma segelintir, tapi punya pengikut (semu) yang lumayan banyak, baik dari kalangan miskin maupun menengah. Kelompok elit ini terdiri dari sekelompok orang yang sebagian memanfaatkan statusnya sebagai juru dakwah, penganjur zikir, penganjur sedekah dan hal-hal yang berbau syariah lainnya,” paparnya.

Ketiga kelompok ini, yakni: fundamentalis kanan yang terdiri dari kalangan miskin, menengah dan elit, sebenarnya tidak ada apa-apanya. Lah, jumlah mereka saja tidak sampai 1 % dari total muslim nusantara. Lalu, kenapa mereka seolah-olah kuat dan jumawa?

“Kita harus melihat siapa saja yang berada di belakang mereka. Sejak jaman kolonial, kelompok sejenis fundamentalis kanan ini dibina, dibesarkan dan atau ditelantarkan oleh penguasa,” ujarnya.

Hanya ada 2 kemungkinan kelompok fundamentalis kanan ini bisa tetap eksis melakukan aksi fundamentalisnya, yakni: 1) didukung kelompok penguasa, 2) didukung kelompok kontra penguasa.

Faktanya, kelompok fundamentalis yang eksis saat ini adalah warisan orde baru yang diterlantarkan oleh penguasa dari masa ke masa. Kebetulan penguasa saat ini tidak membutuhkan jasa mereka. Agar bisa tetap eksis, maka kelompok ini akan memanfaatkan atau dimanfaatkan oleh kelompok kontra penguasa. Keduanya bisa saling memanfaatkan dengan satu agenda politik yang sama, yakni menggangu penguasa yang sedang berkuasa.

Kelompok fundamentalis kanan akan selalu dan tetap ada sepanjang tidak ada kekuatan politik yang dominan. Dan kekuatan politik dominan sangat ditentukan oleh dukungan militer dan pengusaha. Soeharto dan Golkar, mungkin contoh yang baik untuk menggambarkan kekuatan dominan berkat dukungan penuh dari militer dan pengusaha.

Sialnya, kekuatan politik saat ini cukup berimbang. Dukungan militer dan pengusaha tersebar merata untuk kelompok penguasa dan kontra penguasa. Kalau penguasa tidak mau memanfaatkan jasa fundamentalis kanan, maka otomatis akan dimanfaatkan oleh kelompok kontra penguasa.

“Jadi, aksi demo ini semata persoalan pertikaian eksistensi kepentingan dan kekuasaan yang melibatkan kelompok fundamentalis kanan sebagai boneka mainan,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *