10 November, Momen Merawat Kebhinekaan dan Pancasila

by -2,093,349 views

Jakarta – Peristiwa 10 November 1945 sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari peran fatwa Resolusi Jihad NU yang menggerakkan warga dan juga kalangan santri untuk menghantam pasukan sekutu di Surabaya. 71 tahun yang lalu, tepatnya 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya. Dipimpin langsung oleh Rois Akbar Nahdlatul Ulama Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari, dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Belakangan deklarasi ini populer dengan istilah Resolusi Jihad.

Intelektual Muda NU A. Ghopur menjelaskan resolusi jihad meminta pemerintah untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali, dan kontan saja disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah perang dahsyat. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah yang dikomandani oleh KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kiai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

“Jalur aksi perjuangan melalui Resolusi Jihad NU akhirnya harus ditempuh demi menyelamatkan Republik Indonesia yang baru saja berdiri. Bagaimanapun, ini adalah suatu tanggapan yang cepat, tepat, dan tegas dari NU atas krisis kepercayaan dan kewibawaan sebagai bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya,” tegas Ghofur saat Dialog dan Refleksi Hari Pahlawan, dengan tema “Membangkitkan Spirit Kepahlawanan” (Dengan Jiwa Kepahlawanan, Mari Kobarkan Semangat Resolusi Jihad Untuk Menegakkan Rasa Kemanusiaan, Keadilan, dan Persatuan, Serta Cintai Tanah Air Sebagian Dari Iman) yang diinisiasi Lembaga Kajian Strategis Bangsa (LKSB) di Gedung PBNU Jakarta, Kamis (10/11/2016).

Turut hadir narasumber lainnya, Wasekjend PP.Perhimpunan Indonesia Tionghoa/INTI Ulung Rusman, dan Ketua Gerbang Nusantara Moses Latuihamallo.

Dikatakan dia, seruan yang dikeluarkan oleh NU ini yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia untuk berjuang membela Tanah Air dari penguasaan kembali pihak Belanda dan pihak asing lainnya beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan. Namun, setelah 71 tahun merdeka, Indonesia masih mengalami persoalan mendasar, yakni merosotnya nilai-nilai kepahlawanan, kebangsaan, nasionalisme, dan semangat kemajemukan sebagai bangsa yang multikultural. Masih saja ada upaya pengingkaran terhadap pluralitas bangsa Indonesia yang setiap saat dapat saja muncul ke permukaan. Sebagai bangsa yang multi etnis, ras, suku, budaya, bahasa, dan agama, secara jujur kita masih belum bisa menghilangkan atau paling tidak meminimalkan apa yang disebut dengan barrier of psikology (batas psikologis/prasangka) terhadap sesama anak bangsa.

“Itulah yang kerap memunculkan konflik bernuansa SARA di negeri ini, baik secara vertikal maupun horizontal. Ini dapat dibuktikan dengan makin maraknya kelompok-kelompok yang berpaham eksklusif dan anti Pancasila sebagai padangan hidup berbangsa dan bernegara. Kelompok fundamentalis yang selalu mengatasnamakan agama bahkan Tuhan,” beber dia.

membangun-spirit-kebangsaan-di-pbnuDia melanjutkan, sebagai sebuah bangsa besar yang majemuk dan telah berdiri 70 tahun, kita seperti kehilangan nalar publik untuk hidup bersama, berjuang bersama atas dasar semangat kesatuan dan persatuan nasional. Semua persoalan yang terjadi sesungguhnya sinyal lemahnya “ketahanan dan kedaulatan bangsa”. Selain itu, kata dia, banyak variabel yang memengaruhi lemahnya ketahanan dan kedaulatan bangsa. Variabel tersebut antara lain: “marjinalisasi” di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya.

“Pada gilirannya, beramai-ramai masyarakat menghimpun diri dalam suatu paguyuban atau kelompok-kelompok kedaerahan, bahkan keagamaan. Hal ini diyakini bersumber dari ketidak-adilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum,” ucap dia.

Menurut dia, di dalam ketiadaan keadilan, keamanan, dan perlindungan hukum bagi individu untuk mengembangkan dirinya, orang lebih nyaman berlindung di balik warga-tribus (tribalisme, premanisme, koncoisme dan sektarianisme) ketimbang warga-negara. Persoalan ekonomi-politik yang bersumber dari manajemen negara yang korup menyisakan kelangkaan dan ketimpangan alokasi sumberdaya di rumah tangga kebangsaan. Jika aparatur negara hanya sibuk mengamankan kekuasaan dan dapurnya sendiri, maka individu akan segera berpaling ke sumber-sumber tribus sebagai upaya menemukan rasa aman. Di sini persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitias yang subjektif.

“Inilah problem Indonesia sesungguhnya, tak lain adalah keberlangsungan manajemen negara pasca-kolonial yang tak mampu menegakkan kedaulatan hukum, memberikan keamanan, dan keadilan bagi warganya,” sebut dia.

Maka itu, tambah Ghofur, pihaknya memandang pentingnya mempertahankan dan menegakkan kembali kedaulatan negara kesatuan republik Indonesia merdeka dari rongrongan pihak manapun. Menghindari mental dan sikap individualistis dan eksklusif yang mengarah pada pengkhianatan dasar negara dan cita-cita luhur para pendiri bangsa yang telah gugur menumpahkan darah, jiwa dan raga demi kemerdekaan Republik Indonesia.

“Peristiwa perang 10 Nopember 1945 dalam rangka mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia yang baru merdeka adalah nyata dari hasil ijtihad para ulama NU melalui “Resolusi Jihad NU” 22 Oktober 1945. Dan, sebagai rasa hormat dan terima kasih yang tak terkira dari generasi penerusnya, maka tonggak bersejarah itu wajib dihormati dan senantiasa diingat serta ditanamkan kembali dalam sanubari, diteladani dan diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” papar dia.

Ghofur menambahkan semangat heroisme dan rela mengorbankan segalanya dari para perintis dan pendiri bangsa patut bahkan wajib dihormati setinggi-tingginya oleh generasi penerus dan pelurus bangsa dalam bentuk menjaga dan merawat persatuan dan kesatuan bangsa dengan sikap saling tolong-menolong, berbagi dan mengasihi sesamanya.

“Dan Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah fakta sejarah bangsa Indonesia yang tidak dapat diingkari dan wajib kita jaga dan rawat, setia sekaligus menolak segala bentuk radikalisme dan paham yang bereserangan dengan Pancasila,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *