Jakarta – Aksi 4 November 2016 kabarnya bakal ada ribuan massa akan turun kejalan dengan demo besar-besaran menamakan dirinya “Aksi Bela Islam Jilid II” didepan Istana Negara, dan Bareskrim Mabes Polri. Mereka terdiri dari puluhan elemen umat Islam, di antatanya, FPI, FUI, GPII, KB-PII, Majelis Az-Zikra, AQL Center, Hamas Tenabang, FBR, Forkabi, Forum Komunikasi Alumni Afghanistan Indonesia (FKAAI), Jamah Anshar Syariah (JAS), Taruna Muslim, Hidayatullah, kelompok pecinta Alam, Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Bela Negara (GBN), dan lain sebagainya.
Aksi bak revolusi 98 itu, akan dihadiri para pentolan-pentolan diantaranya Amien Rais, Habib Rizieq Syihab, Ustadz Shobri Lubis, Ustadz Zaki Mirza, Alfian Tanjung, ustadz Haris Amir Falah, Ustadz Bahtiar Nasir, ustadz Muhammad Al-Khaththath, Eggi Sudjana, dan lain sebagainya.
Namun, disisi lain ternyata organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama (NU) justru kurang sependapat dengan aksi yang bakal mainkan tersebut. Melalui Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj menyerukan kepada warga Nahdiyin untuk tidak turun ke jalan mengikuti aksi tersebut. Sebab, Kiai Said lebih mengkhawatirkan bila aksi besar itu, yakni demonstrasi lanjutan terkait Ahok singgung Surat Al Maidah, ditunggangi oleh kepentingan politik yang lebih besar dari isu Pilkada DKI Jakarta 2017.
“Yang saya khawatirkan ditunggangi pihak ketiga sekadar kepentingan Pilgub. Jadi demonya bukan hanya sebatas Pilgub, tapi lebih dari itu,” kata dia, Sabtu (29/10/2016).
Kekhawatiran tersebut, kata Said, lantaran ia bercermin dari peristiwa di negara-negara teluk seperti Irak, Afganistan, Suriah, Yaman dan lainnya. “Khawatir kan boleh kalau demo itu bukan masalah Pilgub, tapi lebih besar dari itu seperti Irak, Afganistan. Naudzubillah (kita berlindung kepada Allah) kan,” ujar Said.
Atas kekhawatiran tersebut, ia mengimbau kepada masyarakat yang ikut dalam aksi tanggal 4 November mendatang untuk selalu menjaga akhlakul karimah (akhlak baik) dengan menjaga ketertiban dan persatuan NKRI.
“Mari tengdahkan tangan mohon petunjuk dan berdoa semoga Indonesia selalu diberi kesejukan dan kedamaian dalam perlindungan, penjagaan dan pertolongan Allah,” tegas Said.
Selain itu, tambah Said, demi menjaga suasana perdamaian, pihaknya bersama GP Anshor siap membantu pihak Kepolisian untuk memberikan pelayanan pengamanan agar tidak terjadi gangguan kamtibmas atau berujung anarkis.
“NU dan GP Anshor siap membantu Polisi memberi pelayanan pengamanan, tapi kami tidak memakai atribut apapun,” tuturnya.
Lebih lanjut, Kiai Said menyerahkan sepenuhnya kasus Ahok itu kepada pihak penegak hukum yaitu Bareskrim yang sedang menangani kasus tersebut. Namun, kata dia, dalam proses hukum itu ada asas praduga tidak bersalah sehingga ada hak untuk pembelaan. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun menegaskan bahwa apa yang disampaikan pada kasus Ahok itu hanya sebuah pernyataan semata bukanlah fatwa. Namun selama ini yang terjadi, ada kesalahpahaman bahwa itu merupakan fatwa MUI sehingga menjadi patokan para demonstran tangkap Ahok beberapa waktu lalu.
“Biarkan Polisi memanggil dan memeriksanya, tapi jika tidak bersalah ya dibebaskan. Ahok juga sudah minta maaf, umat Islam yang bermartab itu haruslah mudah memaafkan. Bukan mencaci maki, provokatif, dan sebagainya,” tandasnya.
Muhammadiyah: Momentum Pilkada DKI Jangan Seret Isu Murahan
Hal senada juga dilontarkan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Drs. Syaiful Rahim. Dirinya menghimbau agar momentum Pilkada DKI 2017 tidak menyeret-nyeret isu murahan seperti halnya melakukan serangan dengan politik SARA. Syaiful pun menyayangkan jika hanya suatu perbedaan menjadikan perpecahan.
“Pilkada DKI jangan menyeret-nyeret isu murahan. Perspektif kita ini pluralis, jangan karena kita berbeda, lantas menjadikan perpecahan,” ungkap Syaiful.
Lebih lanjut, Syaiful pun membandingkan antara Arab dan Indonesia dalam segi budaya dan suku. Arab, kata dia dalam perspektif budaya hanya memiliki satu saja tapi mereka tak bisa menyatukan bangsa Jazirah Arabnya. Berbeda dengan Indonesia memiliki beragam suku, budaya, agama, bahasa, tapi ternyata semuanya itu bisa bersatu.
“Kita beri uplouse (tepuk tangan) pada sayap-sayap bangsa ini termasuk NU dan Muhammadiyah,” ujarnya.
Bahaya !!!, Politik SARA untuk Jegal Lawan
Wasekjen KPP PRD Rudi Hartono juga ikut menyoroti situasi Pilkada serentak 2017 dan isu politik berbau Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) yang kini menjadi perhatian publik. Dia menyesalkan jika isu tersebut digunakan sebagai senjata politik untuk memukul lawan dan meraih dukungan.
“Dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda, situasi kebangsaan saat ini agak kritis, karena akhir-akhir ini terutama dalam situasi Pilkada isu politik berbau SARA kembali muncul dan isu ini digunakan sebagai senjata politik untuk memukul lawan dan meraih dukungan. Ini sangat berbahaya dalam konteks berkebangsaan,” tegas Rudi.
Lebih lanjut, Pemred Berdikari Online itu mengutip data BPS bahwa ada sekitar 1.128 suku dan 546 bahasa dan sub bahasa yang ada di Indonesia, belum lagi hampir semua agama yang ada di dunia dan berbagai aliran kepercayaan ada di Indonesia. Disisi lain Indonesia juga terdiri dari ribuan pulau.
“Jadi negara kita itu berdiri dari keberagaman tersebut yang dinamai Indonesia,” ucap dia.
Lebih jauh, Rudi mengingatkan bahwa para pendiri bangsa telah menyatukan semuanya itu menggunakan azas kebangsaan. Sesuai pidato Bung Karno bahwa Indonesia bukan milik seseorang, tapi milik bersama, semua untuk semua.
“Jadi tidak ada yang paling merasa memiliki Indonesia,” tandasnya.