Oleh: Karyono Wibowo*)
“Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”. (Sukarno, 1 Juni 1945)
Kutipan salah satu pidato Bung Karno tersebut menurut hemat saya cukup relevan untuk dijadikan inspirasi dalam mencari solusi atas kemelut Pilkada DKI yang telah diwarnai isu sara. Setidaknya, pidato Bung Karno tersebut mengingatkan kita bahwa negara ini dibangun oleh para pendiri bangsa bukan untuk satu golongan tapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Sehingga, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum. Demikian pula, UUD 1945 telah menjamin setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh kedudukan, hak menyampaikan pendapat, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing dimana kedudukan dan pelaksanaannya diatur melalui peraturan dan perundang-undangan.
Sejatinya, konsep pendirian negara Indonesia oleh para pendiri bangsa (founding fathers) telah ditegaskan oleh Sukarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945;
“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”1
Pesan pidato Bung Karno tersebut sangat tegas dan sangat jelas, bahwa negara Indonesia didirikan bukan untuk satu golongan, bukan untuk orang per orang tetapi untuk seluruh tumpah darah Indonesia. Dalam kesempatan yang sama, di depan peserta sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno juga mengatakan, bahwa negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.
Pidato Bung Karno tersebut hendaknya mengingatkan kita semua akan pentingnya persatuan nasional dengan saling menghormati perbedaan antar sesama anak bangsa tanpa membedakan latar belakan suku dan agama.
Oleh karena itu, dalam menyikapi Pilkada DKI ini hendaknya perlu dihindari penggunaan isu sara dan hal-hal lain yang dapat menimbulkan konflik antar golongan dan benturan sesama anak bangsa. Semua pihak perlu menyadari, bahwa menggunakan isu sara dalam kontestasi electoral seperti Pilkada sangat rawan menimbulkan konflik social yang dapat mengancam stabilitas nasional. Karena itu, undang-undang dan peraturan melarang penggunaan isu sara dalam kontestasi electoral seperti pilkada, pilpres maupun pemilu legislative.
Masalah agama dan etnis semestinya berada dalam dimensi ruang privat yang tidak boleh dibawa-bawa dalam kontestasi demokrasi electoral seperti yang terjadi dalam dinamika pilkada DKI saat ini. Ketika masalah suku dan agama diangkat dari ruang privat dan menjadi komoditas politik untuk meraih kekuasaan, maka bersamaan dengan itu sama saja telah menghancurkan nilai-nilai demokrasi Indonesia yang antara lain bercirikan toleransi dan gotong-royong.
Masyarakat dan khususnya elit politik semestinya belajar dari para pendiri bangsa seperti KH. Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Teuku Muhammad Hasan, Ki Bagoes Hadikoesumo, dan tokoh-tokoh Islam lainnya yang memiliki karakter kebangsaan kuat. Tokoh-tokoh Islam tersebut memiliki jasa yang sangat besar dalam memelihara keutuhan bangsa. Satu hal lagi yang sangat penting, mereka adalah suritauladan yang mewariskan nilai-nilai toleransi dan gotong royong.
Dengan demikian, penggunaan isu sara untuk tujuan menyudutkan pihak lain demi meraih kekuasaan merupakan cara-cara primitif yang sudah usang dan harus segera ditinggalkan. Di sisi lain, menggunakan sara sebagai isu kampanye justru menunjukkan ketidakmampuan mereka sendiri. Semestinya, dalam pertarungan politik modern hendaknya lebih menawarkan gagasan yang cerdas dan konseptual.
Dalam menyikapi kemelut Pilkada DKI yang sudah ternodai oleh isu sara ini, maka pada kesempatan ini saya menyampaikan apresiasi yang tak terhingga kepada seluruh mahasiswa dan pemuda-pemudi yang masih memiliki kepedulian dan kepekaan social terhadap persoalan bangsa.
Dalam kesempatan ini, secara khusus, saya juga memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya sekaligus menyampaikan rasa hormat dan bangga kepada Badan Ekskutif Mahasiswa Universitas Jayabaya yang berani menjadi motor penggerak dalam mewujudkan Pilkada DKI yang damai, bersih, sehat tanpa isu sara. Tak lupa, rasa terimakasih saya sampaikan juga kepada civitas akademika Universitas Jayabaya yang telah mendukung terlaksananya acara ini.
Rasa hormat dan bangga layak untuk kita sampaikan kepada mahasiswa yang tergabung dalam Badan Ekskutif Mahasiswa Nasional (BEM Nasional) karena ternyata BEM Nasional lebih peka dan peduli dari elit politik dalam membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga persatuan nasional, tentang pentingnya memilihara persatuan Indonesia, tentang pentingnya persatuan sesama anak bangsa, tentang pentingnya toleransi, tentang pentingnya mewujudkan Pilgub DKI yang demokratis tanpa menjadikan isu sara sebagai komoditas politik.
Semoga gerakan yang dimotori BEM Nasional ini dapat menjadi inspirasi seluruh elemen bangsa, khususnya para peserta Pilkada DKI dan elit politik agar kembali kepada cita-cita pendirian bangsa ini, sehingga pelaksanaan Pilkada DKI berjalan dengan damai dan demokratis tanpa isu sara.***
Jakarta, 27 Oktober 2016
)*Karyono Wibowo (Peneliti Senior IPI/Pemerhati Kebangsaan)