Sejumlah 1119 Peta Wilayah Adat Telah Teregistrasi, BRWA :Luasnya Mencapai 20,7 Juta Hektar

by -643,565 views

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) rutin memperbarui data “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia” dua kali dalam setahun, yaitu pada momentum Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara pada bulan Maret dan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia pada bulan Agustus ini.

Pembaruan data tersebut diperoleh dari pengolahan data yang tercatat dalam Sistem Registrasi Wilayah Adat BRWA. Sistem ini meliputi tahapan pencatatan data, registrasi, verifikasi, dan sertifikasi wilayah adat. Dibandingkan dengan data pada bulan Maret lalu, terjadi kenaikan luas registrasi wilayah adat 3,1 juta hektar. Kenaikan terbesar berasal dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara seluas 2,1 juta hektar dan Kabupaten Jayapura, Papua sekitar 0,9 juta hektar. Selebihnya berasal dari daerah lain.

“Pada bulan Agustus ini BRWA telah meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan luas mencapai 20,7 juta hektar. Peta wilayah adat tersebut tersebar di 29 Provinsi dan 142 kabupaten/kota,” ucap Ariya Dwi Cahya, Divisi Data dan Informasi BRWA.

“Dari data tersebut, terdapat 189 wilayah adat dengan luas mencapai 3,1 juta hektar telah memperoleh pengakuan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) dan Surat Keputusan kepala daerah provinsi atau kabupaten/kota. Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat masih sangat besar, yaitu sekitar 17,7 juta hektar. Dengan demikian baru 15% wilayah adat yang sudah diakui oleh pemerintah daerah,” imbuhnya.

Capaian pengakuan hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat juga masih belum menggembirakan.

“Dalam catatan kami, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum menerbitkan surat keputusan hutan adat lagi sejak terakhir diserahkan oleh Presiden di Danau Toba pada bulan Februari lalu,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA.

Capaian hutan adat masih berjumlah 89 hutan adat dengan luas mencapai 75.783 hektar. Informasi dari tim BRWA Kalimantan Barat, baru-baru ini KLHK telah melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat.

“Namun, sampai pers rilis ini disebarkan, kami belum memperoleh informasi terbaru jumlah dan luasan hutan adat yang ditetapkan oleh KLHK,” tambah Kasmita.

Untuk pengakuan tanah ulayat atau pendaftaran tanah ulayat melalui mekanisme penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat masih belum dimulai oleh ATR/BPN.

“Kementerian ATR/BPN masih belum beranjak untuk menjalankan tugasnya melakukan pendaftaran tanah ulayat, padahal Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) seharusnya juga meliputi pendaftaran tanah ulayat,” ujar Kepala BRWA.

Ego sektoral antara KLHK, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta jeratan peraturan-perundangan membuat urusan pendaftaran tanah ulayat ini tidak ada kemajuan sama sekali.

“Tidak mungkin masyarakat adat mendaftarkan tanah ulayat atau wilayah adat ke ATR/BPN hanya untuk yang berada di luar kawasan hutan. Jadi, masyarakat adat perlu menghadapi setidaknya tiga kementerian tersebut untuk pengakuan wilayah adatnya,” tambah Kasmita.

Dengan belum disahkannya RUU Masyarakat Adat, maka kerangka hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat adat bertumpu pada UU sektoral dan kebijakan daerah dalam bentuk Perda dan keputusan kepala daerah. Proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat ini melibatkan peran aktif para pihak, selain masyarakat adat itu sendiri. Oleh karenanya, peran pemerintah daerah dan pusat sangat krusial. Begitu pula peran para pendamping masyarakat adat dari organisasi masyarakat sipil dan akademisi.

Ada beberapa tantangan yang dihadapi para pihak dalam memperkuat proses pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat. Pertama, pembentukan Perda memerlukan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Satu Perda rata-rata membutuhkan 1 sampai 2 tahun, bahkan ada yang lebih lama lagi. Juga memerlukan biaya minimal sekitar 700 juta – 1 milyar/tahun. Sementara itu, substansi Perda tersebut secara umum mengatur tentang tata cara pengakuan masyarakat adat, sehingga memerlukan berbagai aturan turunan yang memerlukan komitmen kepala daerah untuk melaksanakannya. Jika tidak dibuat aturan turunannya, maka Perda tersebut mangkrak tidak dapat dilaksanakan.

Kedua, masih sedikit kepala daerah yang memiliki tanggung jawab dan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat. Hal ini menyebabkan belum adanya kelembagaan di daerah yang memiliki tugas khusus dan dibekali dengan anggaran yang memadai untuk melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat. Ketiga, rendahnya kapasitas kelembagaan dan staf untuk melaksanakan kegiatan teknis terkait penyusunan pedoman dan pelaksanaan tahapan-tahapan pengakuan masyarakat adat seperti yang diatur dalam kebijakan daerah, maupun peraturan perundangan lainnya. Yang keempat, rendahnya dukungan kepada masyarakat adat dalam proses pemetaan partisipatif wilayah adat dan fasilitasi penyiapan data yang memadai sehingga memenuhi persyaratan teknis dan substantif seperti yang diatur dalam kebijakan daerah maupun paraturan-perundangan.

Di beberapa daerah, masyarakat adat mengambil peluang untuk mempercepat proses pengakuan hak masyarakat adat karena sudah ada kerangka hukum dan kebijakan, serta adanya dukungan politik dan kepemimpinan kepala daerah. Namun, saat ini banyak terjadi pergantian kepemimpinan kepala daerah karena masa jabatan berakhir. Pelaksana tugas kepala daerah dikhawatirkan tidak melanjutkan program tersebut. Menghadapi tahun politik saat ini hingga nanti Pemilihan Umum tahun 2024, urusan penyelenggaraan pengakuan masyarakat adat terancam berhenti. Sementara pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional seperti pembangunan Ibukota Nusantara (IKN), food estate, industri pariwisata super prioritas, semakin gencar dan mengancam keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR perlu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Begitu juga, pemerintah daerah perlu segera membentuk dan melaksanakan kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) adalah lembaga tempat pendaftaran (registrasi) wilayah adat. BRWA dibentuk tahun 2010 atas inisiatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), dan Sawit Watch (SW).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *