Mahasiswa Harus Paham Betul Bagaimana Cara Merawat Kebhinekaan

by -2,170,239 views

MediaSiber.com – Dekan-III Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan/FATIK IAIN Kendari, Abbas mendukung kegiatan diskusi yang mengarah pada pemahaman bagi Mahasiswa bagaimana menjaga dan memupuk semangat untuk merawat persaudaraan dalam perbedaan di Indonesia.

“SEMA FATIK adalah lembaga kemahasiswaan yang selama ini sering membuat forum-forum dalam menyadarkan dan memberikan pemahaman kepada para pemuda tentang bagaimana merawat ke-bhinekaan,” kata Abbas dalam dialog kebangsaan dengan tema ‘Deradikalisasi Menuju Moderasi Kehidupan Sultra Dalam Merawat Kebhinnekaan’ yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa FATIK IAIN Kendari, Selasa (17/12/2019).

Ia juga berharap generasi muda Indonesia khususnya di lingkungan civitas akademika IAIN Kendari dapat bersama-sama menangkal paham radikal.

“Ini bisa dilakukan untuk menangkal pemahaman radikalisme yang terus berkembang di kemahasiswaan,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua SEMA FATIK IAIN Kendari, Buyung Muh. Rantau mengatakan, bahwa kegiatan tersebut sengaja dilakukan dalam rangka untuk memberikan pemahaman kepada Mahasiswa tentang bahaya paham radikalisme.

“Tujuan diselenggarakannya dialog kebangsaan ini untuk memberikan pemahaman kepada para mahasiswa IAIN Kendari khususnya mahasiswa baru terkait bahaya radikalisme,” kata Buyung.

Apalagi kata Buyung, saat ini paham radikal semakin berkembang khususnya di kalangan Mahasiswa yang sebenarnya memang menjadi target operasi penyebarluasan paham yang dianggap membahayakan itu.

“Mengingat perkembangan saat ini begitu banyak para remaja atau kaum milenial di Sulawesi Tenggara sudah terpapar radikalisme, bahkan turut serta menyebarkan paham tersebut,” jelasnya.

Apa itu radikalisme ?

Dalam terminologi bahasa, radikalisme adalah sesuatu upaya untuk mencapai perubahan terhadap tatanan sosial dan politik namun dengan cara yang drastis.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Dekan-III Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah IAIN Kendari, Muh. Ikhsan.

“Radikalisme adalah suatu ideologi yang menginginkan suatu perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan,” kata Ikhsan.

Dengan pemahaman itu, Ikhsan mengatakan bahwa paham radikal cenderung akan menyebarkan pemahaman dan keyakinan kelompok mereka untuk melalukan kekerasan. Tak peduli apakah pemahaman itu ada di sektor agama maupun politik.

“Maka radikalisme adalah gerakan yang berpandangan ekstrim dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka, baik kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta paham politik,” imbuhnya.

Radikalisme semacam itu dikatakan Ikhsan akan menyebar seiring dengan ketidakpahaman seseorang dalam memahami agama. Ditambah lagi dengan pengaruh eksternal juga menjadi pemicu merebaknya paham yang saat ini dianggap menjadi salah satu ancaman distorsi berbangsa dan bernegara.

“Radikalisme muncul karena ketidaktahuan akan ajaran agama yang sebenarnya, terlalu semangat dalam mengamalkan ajaran agama, keliru dalam menilai perilaku umat beragama dan adanya pengaruh dari luar negeri,” tandasnya.

Jadi, Ikhsan menegaskan bahwa radikalisme agama adalah suatu paham yang keliru dan ekstrim di bidang pengalaman ajaran agama.

Oleh karena itu, ia berharap agar ke depannya bangsa Indonesia memiliki moral dan pendidikan yang baik dan tepat, bagaimana menjaga toleransi dan memahami nilai-nilai agama dan kearifan lokal yang benar.

“Kondisi umat beragama yang diharapkan adalah terdidik, bermoral, toleran, sejahtera, memahami nilai-nilai agama, dapat dipercaya, patuh terhadap hukum agama, negara dan cinta tanah air serta hidup bermanfaat bagi orang lain,” tutur Ikhsan.

“Kita harus menghilangkan prasangka buruk yang dapat memicu konflik,” sambungnya.

Senada dengan Ikhsan, Syamsul Bahri yang merupakan dosen Pendidikan Anti Korupsi dan Radikalsme Pasca Sarjana IAIN Kendari menyampaikan, bahwa radikalisme adalah penyakit.

“Radikalisme adalah penyakit, terdapat 900 orang anak muda yang terpapar paham radikalisme,” kata Syamsul.

Namun ia juga memberikan catatan tersendiri mengapa paham radikal mudah sekali memapar khususnya kepada kaum muda Indonesia. Faktornya antara lain adalah pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang doktriner.

Selain itu, persoalan pemahaman dan daya baca menjadi faktor yang tidak kalah penting. Di mana literal dalam memahami teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami Islam dari kulitnya saja, tetapi minim wawasan tentang esensi agama.

Kemudian mereka yang disibukkan justru oleh masalah-masalah sekunder. “Seperti menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud, memanjangkan jenggot dan meninggikan celana sembari melupakan masalah-masalah primer,” jelasnya.

Selanjutnya adalah berlebihannya dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat. Kemudian lemah dalam pengetahuan tentang sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat dan semangat zaman.

Ancaman Kebhinekaan

Dalam kesempatan yang sama pula, Dosen Filsafat Universitas Halu Oleo, Dr. Idaman, M.A menyampaikan bahwa kebhinekaan di Indonesia bisa hancur jika bangsanya tidak bisa saling menghargai perbedaan. Apalagi sampai menganggap bahwa pahamnya lah yang paling benar sementara label kafir mudah sekali disematkan bagi orang yang tidak seirama dengan isi kepalanya.

“Kebhinekaan mulai dirusak akibat tidak adanya saling menghargai tentang perbedaan persepsi. Seakan yang tidak sepaham itu adalah kafir dan tidak mempunyai dalil,” tutur Idaman.

Di sisi lain, faktor perkembangan dunia digital dan internet juga menjadi faktor merebaknya paham radikal di Indonesia, khususnya bagi para netizen dan pengguna media sosial yang tidak memiliki bekal dasar yang kuat.

“Radikalisme juga terjadi karena sering menggunakan Medsos atau internet,” ujarnya.

Berdasarkan hasil survei APJII tahun 2016, jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 132,7 juta orang dari 256,2 juta orang populasi Indonesia.

Jika melihat data itu, Idaman berpendapat bahwa potensi penyebaran paham radikal bisa menyasar setidaknya 51,8 persen populasi penduduk di Indonesia.

“Hal ini menggambarkan bahwa pengguna Internet di Indonesia mencapai 51.8% dari jumlah penduduk Indonesia seluruhnya,” tambahnya.

Perlu diketahui, bahwa berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2019, ada tren penurunan potensi radikal secara nasional yakni sebesar 16,6 persen dibanding tahun 2017 yang mencapai 55,12 persen.

Diskusi yang digelar Gedung Aula Mini Perpustakaan IAIN Kendari itu dihadiri oleh sekitar 137 orang. Hadir di kegiatan tersebut antara lain Dansat Menwa IAIN Kendari, M. Taufiq yang juga Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam/DEMA FEBI), Rahmat Nugraha selaku Ketua DEMA FATIK, Charlie selaku Ketua Umum PMKRI Cab. Kendari, Agus Salim selaku Ketua Umum PMII Komisariat IAIN Kendari, M. Muflih selaku Ketua Umum Pelita Islam Sulawesi Tenggara/PILAR dan Zulhizah selaku Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM Bahasa).

Selain itu, hadir pula AKP Jamil mewakili Direktorat Intelijen dan Keamanan (Dirintelkam) Polda Sulawesi Tenggara.

[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *