Istilah Intelektual, Akademisi dan Cendekiawan Menggema : Siapa Sih Mereka?

by -868,407 views

Istilah-istilah seperti intelektual, intelegensia, cendekiawan dan akademisi, seringkali digunakan secara tumpang tindih atau bergantian untuk menunjuk entitas yang sama. Untuk istilah intelektual, intelegensia dan cendekiawan cenderung digunakan untuk mendefinisikan individu atau kelompok individu yang “terdidik”, “memiliki pengetahuan lebih dari individu lain”, dan oleh karenanya mereka memiliki posisi, status atau kelas tersendiri dalam masyarakat.3)

Sementara istilah akademisi cenderung merujuk kepada profesi sebagai pengajar di lembaga-lembaga pendidikan ( akademia).4)

Daniel Dhakidae menyebutkan bahwa cendekiawan, kecendekiaan, kaum cendekiawan adalah relasi dan bukan definisi, yang keluar sebagai akibat dari hubungan modal, kekuasaan dan kebudayaan, dan karena itu hampir tidak ada definisi yang mungkin berdaulat atas definisi lain. Pertarungan definisi, menurut Dhakidae, menjadi tidak penting karena perhatian utama diberikan kepada relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak, dan peran yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang dihasilkan untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum cendekiawan itu.5)

Mereka yang dapat disebut sebagai cendekiawan senantiasa terlibat di dalam apa yang disebut sebagai speech community, yaitu suatu komunitas yang mempergunakan bahasa sebagai alat, modal, medium, untuk mengolah kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Hanya mereka yang terlibat di dalam sistem diskursif itulah yang disebut cendekiawan.6)

Dengan demikian, seorang ilmuwan yang hidupnya menyepi dalam pertapaan di lereng-lereng gunung atau hanya bertahta di “atas awan” atau “puncak menara gading”, tidak serta merta dapat dimasukkan ke dalam komunitas kaum cendekiawan sampai dia “turun gunung” dan melibatkan dirinya ke dalam diskursus publik tersebut, atau bila pesan politiknya belum mengguncang dunia di bawah gunung.7)

Keterlibatannya dalam mengolah modal sosial, modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam modal ekonomis memegang peran menentukan.

Dengan demikian yang disebut sebagai cendekiawan itu lebih berupa hasil dari suatu pola hubungan (relations) dan karena itu gejala cendekiawan sifatnya lebih relational.

Perlu juga ditilik pendapat Antonio Gramsci di sini. Gramsci mengatakan bahwa “orang dapat mengatakan bahwa semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual”.8)

Dalam pada itu, Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi dua, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Garis yang memisahkan seorang cendekiawan dengan yang bukan cendekiawan demikian cairnya, sehingga susah untuk menarik garis yang tegas.

Mengapa demikian? Karena siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah, dengan sendirinya menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum cerdik-cendekia.9)

*Sebutan cendekiawan hanya diberikan oleh orang lain untuk orang lain lagi, dan bukan untuk penamaan diri sendiri.

Dalam alam demokrasi diandaikan tersedianya sebuah wilayah publik yang bebas (a free public sphere). Pada ruang publik yang bebaslah, secara normatif, individu-individu dalam posisinya yang setara dapat melakukan transaksi wacana ( discursive transactions) dan praktis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.

Ruang publik bebas, secara teoritis, dapat diartikan sebagai ruang di mana anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik.10)

Secara spesifik, intelektual muslim memiliki peran untuk mengekspresikan ide-ide sistematis dalam merespon problem sosial dan kemasyarakatan, dengan tetap memiliki komitmen pada nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara.

Pemikiran-pemikiran mereka dapat berbentuk interpretasi terhadap doktrin-doktrin Islam dalam konteks modernitas dan perubahan sosial, gagasan-gagasan progresif yang diilhami oleh doktrin Islam, atau artikulasi berbagai aspirasi Islam dalam konteks masyarakat dan negara.11)

Karena wilayah kerja kaum intelektual adalah pada public discourse, maka peran yang harus dimainkan oleh kaum intelektual adalah melakukan transformasi informasi dalam masyarakat, dan melakukan kritik terhadap hegemoni informasi ( counter hegemony).12)

Kerja-kerja intelektual itu pada gilirannya diharapkan untuk tetap mempertahankan wilayah publik yang bebas, sehingga hak-hak sipil dan politik warga negara dapat tetap dijamin, dan partisipasi warga dalam kegiatan/kebijakan publik dapat terpenuhi.

Pada akhirnya kerja kaum intelektual diharapkan mampu untuk membangun budaya kewarganegaraan ( civic culture).

Mengenai lokus kerja kaum intelektual dalam demokratisasi, Samuel P. Huntington menyebutkan bahwa kota adalah pusat oposisi dalam sebuah negara; kelas menengah adalah fokus oposisi di dalam kota; kaum intelegensi kebanyakan adalah kelompok oposisi yang aktif dalam kelas menengah; dan mahasiswa adalah kaum revolusioner yang paling koheren dan efektif dalam kelompok intelegensia.

*Rujukan Pustaka:

3. Kajian-kajian tentang intelektual di antaranya, lihat: Thomas Sowell, 2009, Intellectuals and Society, (New York: Basic Books), terutama chapter “Intellectuals and The Law”, hlm. 157-202;
Yudi Latif, 2005, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan), hlm. 14-38;
Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia), hlm. 8-66;
Jeremy Jennings and Anthony Kemp-Welch (eds.), 1997, Intellectuals in Politics, (New York and London: Routledge).

4. Untuk istilah akademisi, baca: Edward Shils, 1993, Etika Akademis, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).

5. Daniel Dhakidae, 2003, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta: Gramedia), hlm. xxxi.

6. Lihat: Muhammad
A.S. Hikam, “Bahasa, Politik dan Penghampiran Discursive-Practice: Sebuah Catatan Awal”, dalam Muhammad A.S. Hikam, 1996, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES), hlm. 177-195.

7. Ibid., hlm. 15. Baca juga: Hermawan Sulistyo, 2004, Kita Berumah di Atas Badai, Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Perkembangan Politik, (Jakarta: LIPI), yang materinya lebih sebagai otokritik terhadap para ilmuwan sosial Indonesia yang dalam batas-batas tertentu “tidak kompeten” atau mengalami “defisit kapasitas”untuk disebut sebagai intelektual atau cendekiawan karena gagal memberi early warning sebelum terjadinya krisis 1997 dan gagal mencarikan jalan keluar pascakrisis.

8. Dikutip dari Edward W. Said, 1998, Peran Intelektual, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 1.

9. Dhakidae, ibid., hlm 1 dan 8.

10. Muhammad A.S. Hikam, 1996 “Demokrasi Melalui Civil Society: Sebuah Tatapan Refleksi Atas Indonesia”, dalam Hikam, 1996, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES), hlm. 84-85.

11. Masykuri Abdillah, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 14-15.

12. Lihat: “Cendekiawan dan Masalah Pemberdayaan Civil Society di Indonesia: Sebuah Upaya Pencarian Relevansi”, dalam Muhammad A.S. Hikam, 1996, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES), hlm. 196-215;
Anders Uhlin, 1997, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia”, (Bandung: Mizan), terutama sub bab “Pembangkangan Elit dan Intelektual”, hlm. 93-100;
Daniel Dhakidae, 1996, “Bahasa dan Kekuasaan: Bahasa, Jurnalisme dan Politik Orde Baru”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (eds.), 1996, _Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan), hlm. 246-251.

13. Samuel P. Huntington, 1968, Political Order in Changing Societies, (New Haven and London: Yale University Press), hlm. 290.

*Sumber:

Hasyim Asy’ari, “Gerakan Advokasi Mahasiswa: Dari Kesadaran Moral Menuju Gerakan Struktural”, Makalah disampaikan pada “Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa”, diselenggarakan oleh Bidang III Kemahasiswaan Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Kampus Fak. Hukum Tembalang, Semarang, Sabtu, 21 September 2013.

Makalah diterbitkan dalam Hasyim Asy’ari, 2021, Dinamika Negara Hukum: Relasi Negara, Hukum dan Masyarakat di Indonesia, (Yogyakarta: Thafamedia), hlm. 153-163.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *