Ada Unsur Kesengajaan Dibalik Feasibility Study Formula E yang Ditutup-tutupi

by -753,783 views

JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah menduga feasibility study Formula E ada unsur kesengajaan untuk ditutup-tutupi.

“Itu harusnya kan feasibility study transparan. Publik harusnya bisa melihat seperti apa. Tapi sampai sekarang nggak bisa. Itu mencurigakan, patut dipertanyakan mengenai itu, keberadaan feasibility study itu kenapa ditutup-tutupi sampai hari ini,” tegas Trubus, hari ini.

Sebelumnya, Ketua Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta Anggara Wicitra Sastroamidjojo mendesak Pemerintah Provinsi DKI dan PT Jakarta Propertindo (JakPro) membuka feasibility study Formula E. Pasalnya, dari dokumen studi kelayakan itu semua dapat mengetahui target dampak ekonomi ajang balap mobil listrik itu.

Padahal, kata dia, penyelenggaraan Formula E sudah berlalu. Menurutnya hal itu melanggar azas-azas keterbukaan, azas akuntabilitas publik, sebab pertanggungjawaban publiknya tidak ada.

“Padahal anggarannya APBD, bukan anggaran sponsor. Sponsor kan cuma berapa,” ungkapnya.

Selain itu, dia berharap pemeriksaan BPK dan KPK yang dilakukan hingga hari ini jangan ada yang ditutup-tutupi. Apalagi, Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi sudah berkali-kali memberikan kesaksian soal anggaran dan sebagainya.

“Itu kan beliau menjelaskan semuanya. Tapi sampai hari ini nggak ada tersangkanya, gitu. Jadi menentukan tersangka itu lambat sekali. Jadi kalau di proses KPK nggak akan ketemu deh, nggak akan terjawab. Sepertinya begitu,” jelasnya.

Trubus pun membandingkan cara kerja Kejaksaan Agung dengan KPK. Kejagung gerak cepat sekali dalam mengungkap kasus Minyak Goreng, sementara KPK lamban dalam pengungkapan kasus Formula E.

“Melihat kasus minyak goreng, yang cepet kan akhirnya kejaksaan Agung. Yang bertindak kan bukan KPK. Ini cepat sekali. Kalau soal ini (Formula E) kan unsur politiknya apalagi, tinggi sekali. Disini kan KPK berpolitik. Jadi kelihatannya sampai hari ini, anehnya itu kok tersangkanya nggak ada,” bebernya.

Trubus kembali menekankan bahwa sudah jelas bahwa penganggaran dari Formula E itu dianggarkan oleh anggota DPRD sebelumnya, di masa 3 bulan sebelum selesai, dianggarkan.

“Pak Anies pulang dari London tiba-tiba mendata soal Formula-E, tapi kan tidak dianggaran tadi. Ini juga sampai sekarang belum pernah dibuka. Saya juga meragukan, apakah nanti akan terungkap tersangka? Kayaknya nggak deh, ya sudah seperti itu,” sebutnya.

Kejagung Bisa Ambil Alih Kasus Formula E

Trubus mendukung jika perkara Formula E yang masih tahap penyelidikan ini dialihkan ke Kejagung.

“Kejagung harus ambil alih dan harus ada keberanian,” katanya.

Trubus menyebut kesuksesan Formula E adalah sukses semu dan dipertanyakan. “Penontonnya berapa, yang beli tiketnya juga diborong orang-orang itu. Nah, tidak sesukses di Mandalika. Formula E itu suksesnya sukses semu,” paparnya.

Makanya, ia kembali mengharapkan kepada lembaga antirasuah bisa mengumumkan hasil penyelidikan Formula E itu sebelum Anies lengser dari kursi jabatannya.

“Ya, kalau saya sih mengharapkan itu. Sebelum Pak Anies selesai, harus segera diumumkan, harus ada keberanian untuk itu. Kalau nggak, KPK nggak berani ya udah. Nanti kasusnya bakal muter-muter aja kayak kasus RS Sumber Waras, akhirnya tutup buku aja,” sebutnya.

Dia juga membeberkan problem lainnya diantaranya Commitment-fee karena belum ada pertanggungjawabannya dan juga Feasibility Study-nya serta Akuntabilitas publiknya.

“Jadi berita ini, informasi ini ditutup dengan berita kesuksesan Formula E yang sebenarnya semu tadi. Untuk menutupi ini. Commitment-fee ini jelas pelanggaran hukum, tapi kan yang berwenang menyatakan pelanggaran hukum ya aparat yang berwenang. Kalau kayak saya, kamu kan nggak bisa. Hanya bisa mempertanyakan saja. Karena kita nggak punya kewenangan untuk menyatakan orang itu salah atau benar. Tapi kan publik punya penilaian. Publik kan lebih pinter dari aparat, yang pinter banyak,” bebernya.

Dia melihat pemeriksaan eks Sesmenpora, saksi-saksi yang dihadirkan itu agak jauh dari intinya sendiri. Hanya mengetahui katanya-katanya saja.

“Repotnya kan gitu. Artinya tidak terkait langsung. Saksi kan harusnya orang yang mendengar, melihat, mengetahui. Ini mengetahuinya hanya katanya-katanya. Mendengar juga cuma gitu aja. Kesaksian eks Sesmenpora saya lihat itu nggak ada hubungannya. Hubungannya nggak signifikan, nggak korelatif gitu. Artinya kalau sebagai sumber hukum ya harus primer, sedangkan itu kan sekunder ya. Harusnya yang berhubungan langsung,” tukasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *